Berlian
Indonesia Tengah
oleh Puji Lestari Aji
Matahari
menyisih ke sebelah barat. Mata masih terbelalak menatap cakrawala senja yang
indah. Semburat jingga membentang sepanjang mata memandang. udara dingin
berkelebat bak sesosok bayangan yang datang dan pergi. Tangan ini tetap betah
bersidekap. Berdiri di balkon istana tua
yang tetap gagah. Ketegaran jiwa ini semakin kuat. Mematung penuh rasa,
padahal khayalan entah berkelana ke
mana.
Diiringi lonceng waktu yang terus
berdenting keras. Aku melirik pada benda yang tertempel di sudut ruangan,
jarumnya menunjukkan pukul 15.00 WIB. Dalam hatiku berkata sedemikian rupa. Diam
wahai bayu, tak usah kau jawab dentingan lonceng itu, tetaplah bergeming. Luruhkan
semua rasa gundah dalam hatiku.
Usiaku masih dini, bukan waktunya
untuk bersedih. Aku harus menikmati masa-masa berkarya dalam sejarah hidupku.
Kau tidak bisa menghalangi niatku untuk mengabdi pada nusa dan bangsa. Hatiku
bukan terbuat dari kapas, yang rapuh dan bisa “Kau” remukan setiap saat.
Maafkan aku eyang, untuk saat ini
aku menentang kehendakmu. Aku masih menjadi seorang mahasiswa. Universitasku
terbaik di Indonesia. Aku ingin masa muda ini bermanfaat untuk orang lain. Aku
ingin bersedekah tenaga, ilmu, dan kelebihan lainnya pada orang yang kurang
mampu di sudut sana. Aku ingin menjadi seorang pelopor kemerdekaan bagi seluruh
gadis yang dijodohkan sebelum waktunya. Ini bukan zamannya Siti Nurbaya, yang
rela menikah dengan seorang datuk yang tidak dicintainya. Cintanyapun karam di
tengah perjalanan.
***
Di hari yang terik, ayah
mengantarkan aku ke bandara. Di sana aku bertemu dengan teman lama, namanya
Widia. Widia dari FKIP Matematika. Widia akan ditugaskan menjadi seorang guru
Ia ditugaskan di wilayah yang masih kurang pendidikan. Sebelum naik pesawat aku mencium tangan ayah dan ibu
sambil meminta do’a kepada mereka. Ibu masih tidak bisa menerima kepergianku.
Aku tetap pergi, pergi pilihanku yang tepat untuk mengindari bahaya besar bagi
hidupku. Pesawat Garuda Airlines pun terbang ke udara dengan bebas, selamat
tinggal kota Jakarta. Pasti aku merindukanmu, sepulangku dari Kalimantan pasti
banyak cerita yang akan tercurah.
Jika rutenya dijelaskan secara
singkat, dari Jakarta naik pesawat ke Balikpapan, selanjutkan kami menikmati
keistimewaan yang ada di kota Balikpapan. Aku datang ke Kalimantan sebagai
pengamat gizi di sebuah desa bernama
Desa Apau Ping. Semoga tugasku bersaman Widia berjalan dengan lancar. Beberapa
hari di Balikpapan kami melanjutkan perjalanan menuju Tarakan.
Saat tiba di Tarakan, aku merasa ada
naluri yang membuat bulu kuduk berdiri setiap saat. Apalagi mendengar cerita
Widia tentang suku Dayak Kalimantan. Perasaan takut terus menghantui selama
perjalanan menuju Kabupaten Malinau. Sesampainya di Manilau kami mengurus surat-surat
yang diperlukan. Dari Mainau masih ada satu penerbangan lagi,
dengan pesawat yang lebih kecil untuk sampai ke Kecamatan Bahau Hulu. Penerbangan
dari Kota Malinau ke Bahau Hulu hanya dapat dilakukan dengan pesawat
berkapasitas 9 penumpang. Pilatus Porter nama pesawat baling-baling yang
membawa kami mendarat di landasan tanah beralaskan rumput.
Dari
landasan inilah, perjalanan sesungguhnya dimulai. Kami menggunakan ketinting,
sebutan untuk perahu kayu berukuran kecil dan panjang yang menjadi satu satunya
moda transportasi menuju pedalaman di Malinau. Area Bahau Hulu masih berupa hutan
luas. Untuk mencapai Desa Apau Ping harus menyusuri sepanjang sungai Bahau.
Membutuhkan waktu berjam-jam menuju ke Desa Apau Ping, perjalanan juga
dilakukan dengan berulang kali naik turun ketinting. Saat melewati jeram kami
harus turun dan berjalan melewati bebatuan, kemudian ketinting akan ditarik
pengemudi dan juru batu kapal.
Berkelana
di hutan tidak tersentuh pedalaman Kalimantan ini benar-benar menyenangkan. Rasanya
tenang, damai, tanpa sinyal, tanpa keributan. Keadaan tersebut menjawab semua
rasa ketakutanku saat itu. Aku
benar-benar merasa terasing entah di mana. Aku tidak perduli karena
asyik menikmati pemandangan sekeliling pepohonan rimbun sambil menyusuri sungai.
Apau
Ping berjarak tiga jam perjalanan dari landasan udara di Bahau Hulu. Jauh dari
kota besar, kehidupan di desa ini cukup sulit, aku sempat terkejut ketika
mengetahui harga bahan bakar Rp 20.000 perliternya.
Sesampainya
di Desa Apau Ping, kami disambut oleh bapak Yusuf Apoe sebagai kepala desa. Kemudian
mengantar kami ke lapangan tengah desa, di mana masyarakat desa dengan baju
adat Dayak menari menyambut kami. Yang menarik bukan hanya tarian adat ataupun
pakaian suku dayak. Alat musiknya pun tradisional dan semuanya dibuat sendiri.
Kemudian ada satu hal lagi yang mengusik rasa ingin tahuku, anting anting
tradisional suku dayak Kenyah diikatkan ke tali rafia, tidak lagi ke telinga
mereka.
Setelah
berbagai acara kami nikmati, selanjutnya kami diantarkan ke sebuah rumah,
tempat tinggal selama di Apau Ping. Rumah yang aku tempati berbeda dengan
Widia, kami berpisah. Aku tinggal di rumah panggung panjang milik bapak Kadi
seorang tokoh masyarakat Apau ping. Istri bapak Kadi sangat baik padaku, sebutan
‘Mama’ cocok untuk wanita setengah baya
itu. Di Apau Ping aku mendapatkan kesulitan berinteraksi. Untungnya mama setia
membantuku berbicara dengan masyarakat asli Kenyah yang kurang mengenal bahasa
Indonesia.
Setiap
pagi pergi kepasar bersama mama untuk membeli bahan makanan pokok. Untuk
mencapai pasar kami menggunakan jasa ketinting. Selain bahan bakar yang mahal,
ketinting juga sangat lambat dalam menempuh perjalanan. Mama selalu menjelaskan
padaku sulitnya hidup di pedalaman dengan akses transportasi yang minim.
Listrik pun belum menjangkau pedalaman
ini. Mama mengharapkan bantuan pemerintah agar dibangun pembangkit listrik
tenaga air (PLTA). Di sana listrik yang hanya dinyalakan dari jam 7 malam
hingga jam 6 pagi. Dulu masyarakat sini banyak yang pindah ke Malaysia, tambah
mama.
Lokasi
Apau Ping memang berbatasan dengan Malaysia. Dahulu banyak warga desa yang
berjalan berhari hari melewati hutan untuk sampai dan menetap di Malaysia. Saat
ini warga yang tersisa berupaya bertahan, sebagian membuat kerajinan yang
dijual ke Bahau Hulu, sementara kebutuhan sehari hari didapat dari bercocok
tanam. Melihat kondisi sangat miris ini, ditakutkan jika pemerintah tidak
memberikan kasih sayang kepada mereka, maka mereka akan berusaha menjadi warga
Malaysia seutuhnya.
Hari
pertama aku dipertemukan dengan semua warga desa Apau Ping. Saatnya menjalankan
tugas. Mula-mula aku memberikan penyuluhan tentang gizi yang baik.tidak lupa
pula takaran yang harus dikonsumsi setiap harinya. Penyuluhan ini aku
didampingi oleh bapak Yusuf Apoe dan perangkatnya. Kemudian salah satu pemuka
adat memberikan penjelasan menggunakan bahasa dayak Kenyah.
Aku memeriksa kesehatan warga yang hadir,
bersama dengan tenaga teknis kesehatan Poskesdes Apau Ping. Banyak anak-anak
kecil yang menangis menjerit ketika aku memeriksanya. Aku sedikit bingung,
usaha apa yang harus dilakukan agar mereka tidak menangis ketakutan. Mungkin
mereka belum kenal denganku. Padahal aku adalah gadis yang cantik.
Untuk
kegiatan yang selanjutnya, aku mendatangi rumah-rumah warga untuk melihat
bagaimana mereka memasak makanan. Mulai dari bahan yang dimasak sampai
mencicipi semua jenis masakan ibu-ibu yang ada di Apau Ping. Saat aku
mendatangi sebuah rumah panggung lapuk. Mataku terpesona melihat berbagai lukisan
yang tertempel di dinding kayu. Ternyata yang melukis gambar-gambar itu adalah
Ikhsan anak bungsu dari pasangan pemilik rumah.
Keusilanku
timbul saat itu juga. “ibu, bolehkan salah satu lukisan yang ditempel ada satu
untukku?” tanyaku sambil sedikit tersenyum malu.
“boleh,
silahkan. Nak Ayu, kalau tidak ada kegiatan lain di waktu sore, bisakah nak Ayu
mengajari anak-anak menggunakan bahasa Indonesia,?” tanya ibu itu dengan
bahasanya yang khas.
“tentu
saja ibu, boleh, datang saja kerumah pak Kadi, kebetulan saat sore saya tidak
punya kegiatan lain,” jawabku dengan penuh keriangan.
Dari
sejak itulah banyak anak-anak datang kerumah dengan membawa buku tulis serta
pensilnya. Aku merasa bangga, anak-anaknya memiliki semangat menggebu untuk
menimba ilmu.
Anak
pedalaman yang jauh dari modernisasi dan sarana yang lengkap namun keinginannya
untuk belajar sangat luarbiasa. Banyak hal-hal penting yang aku dapatkan saat
bersama anak-anak pedalaman Kenyah. Tidak disangka mereka sangat mudah
menangkap pelajaran yang hanya berapa kali aku ucapkan. Mereka bisa menghafal
berbagai nama negara dalam beberapa jam saja.
Sore
menghentikan sang surya untuk bersinar, tetapi anak-anak Kenyah belum ingin
beranjak dari duduknya. Masih asyik menghafalkan bait-bait sumpah pemuda yang
aku ajarkan.
“kak,
Ayu, aku sudah hafal isi sumpah pemuda, biarkan aku mengucapkannya dengan
lantang,” seru seorang bocah yang bernama Balulu.
“iya,
Balulu ayo coba, yang lantang ya bacanya, kalau bisa semua orang yang ada di
sini terkejut,” kataku sambil memberikan semangat. Kemudian Balulu mulai
membaca.
“Kami
putra putri Indonesia mengaku, bertumpah darah yang satu, tanah air Indonesia. Kami
putra putri Indonesia mengaku, berbangsa satu bangsa Indonesia. Kami putra putri Indonesia mengaku, menjunjung
bahasa persatuan bahasa Indonesia,” Seru Balulu dengan semangat yang
menggelegar.
“pintar
Balulu, kamu adalah berlian diantara rumpunan hutan yang rindang, suatu saat
khalayak orang mengetahui keberadaan serta kegigihanmu,” ujarku dengan tetesan
air mata.
Segera
anak-anak Kenyah memelukku bersama-sama. Kesempatan ini hanya terjadi beberapa
kali dalam kehidupanku. Terselinap kebahagiaan yang tak pernah aku dapatkan
sebelumya meskipun hidup di tengah hutan belantara. Ternyata masih banyak orang
yang sama sepertiku. Berkeinginan kuat untuk mengabdikan diri pada tanah air.
berbeda dengan kehidupanku di Jakarta, serba dilayani oleh ibu, dipenuhi semua
keinginan oleh ayah. Anak-anak ini belajar seadanya tetapi kepintarannya tidak
bisa diremehkan.
“kak
Ayu, kalau kakak kangen dengan orang tua kakak, panggilah kami kak, kami siap
untuk menghibur, kami janji setiap pulang sekolah, kami akan datang untuk
kakak, jangan pulang kak. Kami masih ingin belajar bersama kakak,” Seru Naba.
Mendengar
permintaan Naba hatiku berdenyut lemah. Betapa mereka menyayangiku sehingga
tidak mau berpisah dariku. Aku menjawab dengan sedikit anggukan. Tangan kecil
Ikhsan menyentuh pipiku menghapus air mataku yang mengalir. Kupandangi anak-anak
yang berkulit coklat itu satu persatu sambil terus menangis. Melihatku menangis
anak-anak itu, ikut menangis. Tiba-tiba Ikhsan angkat bicara.
“kak
Ayu jangan menangis lagi, bagaiman kalau kita main layangan peteng, besok hari
libur,” sambil menghentikan tangisnya.
Belajar
demi belajar kami lalui, tidak tersa waktu bergulir dengan cepatnya. Aku
mengajarkan kebiasaan setelah kegiatan belajar. Sebelum pulang kami selalu
berdoa, mereka mengucapkan doa. Bukan hanya padaku mereka menerapkan etika
mulia itu tetapi pada orang tua, kakek, nenek serta guru-gurunya. Begitu
terpujinya akhlak anak pedalam, mereka menghormati orang yang lebih tua.
Sesuai
dengan perjanjian sebelumnya, kami bermain, berlari bersama layangan di tanah
Kenyah. Ikhsan menjemputku kerumah.. Ikhsan berlalri sedikit jauh, aku berusaha
mengejarnya. Lapangan yang luas nan hijau, udara alam pedesaan yang begitu
sejuk, membuatku terhanyut untuk beberapa saat. Sebelum Balulu mengejutkanku.
Ikhsan
duduk dengan buku gambar dan pensilnya, Ia mulai melukis kebersamaan kami.
Lukisan Ikhsan sangat indah, semuanya tampak bernyawa. Setelah matahari cukup
tinggi, kami duduk di bawah pohon yang rindang. Kami makan bersama. Saling
tukar lauk, saling menrasa satu dengan yang lainnya. Cerita yang indah terukir
pada hari itu. Ilmu pengetahuan selalu aku tularkan kepada mereka. Aku juga
membagi pengalamanku menjadi seorang mahasiswa di Universitas Gajah Mada.
“siapa
yang mau melanjutkan sekolahnya ke UGM, ayo angkat tangannya?” seruku dengan
semangat.
“aku
kak,!!! Serentak anak-anak Kenyah mengangkat tangannya ke atas.
“bagus,
adik-adiku. Kalian harus bisa belajar di sekolah yang luar biasa karena otak
kalian pantas untuk itu, kakak tunggu kehadiran kalian semua,” seruku sambil
menyuapkan nasi pada mereka.
Sekitar
pukul 11.00 WITA, kami bergegas pulang kerumah. Ternyata bapak Yusuf telah
menungguku sejak tadi. Beliau pun menjelaskan maksud kedatangannya. Surat
tugasku hampir selesai, waktu dekat ini sepertinya aku harus kembali ke
Jakarta.
“alhamdulillah
pak, tidak terasa hampir empat bulan lamanya saya berada di Apau Ping,” ujarku
tersenyum.
“kalau
betah, tinggal saja di sini, kami senang nak Ayu berada di desa kami,” sahut
bapak kepala desa dengan lugasnya.
Waktuku
di desa Apau Ping tersisa dua hari . Telah banyak kenangan berharga yang tak
pernah terlupakan selama perjalanan hidupku. Aku mulai merapikan pakaian untuk
pulang. Mama tidak merelakan kepulanganku ke Jakarta. Mama selalu
berkata,”jangan pulang dulu nanti saja”. Tapi tugasku di Jakarta sudah menunggu.
Warga
desa berdatangan membawakan oleh-oleh. Mulai dari makanan hingga buah-buahan.
Sebelum aku pulang, warga berkumpul di balai desa. Acara perpisahan terurai
diantara kami. Aku sangat berterimakasih terkhusus mama dan pak Kadi yang
mengurusku selama aku di Apau Ping. Permintaan maaf yang seikhlas-ikhlasnya pun
terucapkan.
Sore
hari setelah acara perpisahan dengan masyarakat Kenyah. Anak-anak suku Kenyah
berkumpul mengutarakan semua isi hatinya masing-masing. Kami berkumpul seperti
biasa, mereka masih membawa buku tulis dan pensil. Kami masih belajar layaknya
tidak ada perpisahan yang akan tetjadi. Untuk kesekian kalinya aku merasa
bangga terhadap mereka.
“kak
Ayu, aku ingin bernyanyi. Bagaimana kalau kita menyanyikan lagu Indonesia Pusaka,” pinta Duwi.
“baiklah,
kita mulai. Semuanya harus bernyanyi dengan semangat, ikuti perintah kakak
ya,1, 2,3,” kami bernyanyi bersama-sama.
Indonesia
tanah air beta
Pusaka abadi
nan jaya......
“kak
satu lagi, lagu yang kakak ajarkan pada kami, lagu itu bejudul Tanah Airku,” seru Ikhsan.
“boleh,
1,2,3 mulai,” seruku melepaskan rasa sedih akan berpisah dengan mereka.
Tanah airku
tidak kulupakan
Kan
terkenang selama hidupku......
Tak
terasa air mata ini mengalir, anak-anak kecil itupun ikut menangis
sejadi-jadinya. Banyak para warga yang menyaksikan apa yang kami lakukan.
Mereka ikut haru. Pada saat itu Balulu membacakan puisinya untukku. Tujuan dari
puisi itu ucapan terimaksih dan larangan untuk pulang. Air mataku terjun bebas dari pelupuh mata.
Setelah itu kami berpelukan dengan sendu menumpahkan kasih sayang. Anak yang
berjumlah sembilan itu aku cium satu persatu, untuk terakhir kalinya.
Malam
ini waktunya berkemas barang, tak lupa aku bawa lukisan Ikhsan. Sebagai
kenang-kenangan sekaligus obat pelipur rindu dengan suku Kenyah. Keesokan
harinya aku pulang. Mama dan pak Kadi, pak Yusuf dan masyarkat lainnya juga
ikut mengantarkan ke lapangan Bahau Hulu. Aku memeluk mama sambil menagis.
Akhirnya kapal terbang menjemputku. masih di tempat yang sama ketika pertama
kali aku meninjakkan kaki di Bahau Hulu. Lambaian tanganku mengakhiri
petualangan di Malinau.
Berbagai
rangkaian perjalanan menuju Jakarta telah terlewati. Tibalah di Bandara
Soekarno-Hatta. Ayah dan ibu telah menjemputku. Ibu sangat bahagia melihat aku
kembali. Sesampainya di rumah, aku segera merapikan barang-barang dari koper.
Menyusunnya di tempat semula. Lukisan Ikhsan aku pajang di kamar.
Sebulan
setelah aku kembali dari Kalimantan, ada festifal melukis untuk anak-anak
SD/sederajat. Aku mencoba mengikutkan karya Ikhsan dalam sayembara itu.
Hasilnya sangat memuaskan, lukisan sederhana namun memilki keindahan yang
tersembunyi. Lukisan itu dihargai oleh juri sebagai juara satu dalam ajang
lomba melukis tingkat nasional. Betapa bahagia hatiku, bisa membuktikan anak
pedalaman juga memiliki keistimewaan. Aku kirimkan surat dan piala serta
bingkisan ke Apau Ping untuk Ikhsan. Sebulan kemudian aku mendapat kiriman
balasan dari Apau ping. Bahtera
bahagianya sampai di tanganku lewat sebuah kertas. Ikhsan sangat senang
mendapatkan penghargaan itu.
Setelah
mendapat pengalaman tak ternilai dari Kalimantan. Timbullah gagasan di otakku.
Aku berupaya mendirikan beberapa sekolah khusus siswa berprestasi yang tidak
mampu. Nama sekolah yang aku dirikan adalah Berlian atau Diamond. Baru beberapa bulan sekolah Berlian berdiri, banyak sekali
anak-anak yang tidak mampu menjadi siswanya. Siswa sekolah Berlian dimulai dari
TK hingga SMA. Semoga dengan upaya ini aku bisa menjdi orang yang berguna bagi
manusia lainnya. Disamping seorang pelajar aku mampu memberikan fasilitas
belajar pada insan lainnya.
Semuanya
berawal dari pengalaman. Terimakasih pengalaman, kau telah mengajarkanku arti
kehidupan yang sebenaranya. Pengalaman telah membuka jalan baru untukku.
Pengalaman mengajarkanku saling mencintai dalam kebersamaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar