Senin, 17 April 2017

Berlian Indonesia Tengah



Berlian Indonesia Tengah
oleh Puji Lestari Aji

Matahari menyisih ke sebelah barat. Mata masih terbelalak menatap cakrawala senja yang indah. Semburat jingga membentang sepanjang mata memandang. udara dingin berkelebat bak sesosok bayangan yang datang dan pergi. Tangan ini tetap betah bersidekap.  Berdiri di balkon istana tua yang tetap gagah. Ketegaran jiwa ini semakin kuat. Mematung penuh rasa, padahal  khayalan entah berkelana ke mana.
            Diiringi lonceng waktu yang terus berdenting keras. Aku melirik pada benda yang tertempel di sudut ruangan, jarumnya menunjukkan pukul 15.00 WIB. Dalam hatiku berkata sedemikian rupa. Diam wahai bayu, tak usah kau jawab dentingan lonceng itu, tetaplah bergeming. Luruhkan semua rasa gundah dalam hatiku.
            Usiaku masih dini, bukan waktunya untuk bersedih. Aku harus menikmati masa-masa berkarya dalam sejarah hidupku. Kau tidak bisa menghalangi niatku untuk mengabdi pada nusa dan bangsa. Hatiku bukan terbuat dari kapas, yang rapuh dan bisa “Kau” remukan setiap saat.
            Maafkan aku eyang, untuk saat ini aku menentang kehendakmu. Aku masih menjadi seorang mahasiswa. Universitasku terbaik di Indonesia. Aku ingin masa muda ini bermanfaat untuk orang lain. Aku ingin bersedekah tenaga, ilmu, dan kelebihan lainnya pada orang yang kurang mampu di sudut sana. Aku ingin menjadi seorang pelopor kemerdekaan bagi seluruh gadis yang dijodohkan sebelum waktunya. Ini bukan zamannya Siti Nurbaya, yang rela menikah dengan seorang datuk yang tidak dicintainya. Cintanyapun karam di tengah perjalanan.

***
            Di hari yang terik, ayah mengantarkan aku ke bandara. Di sana aku bertemu dengan teman lama, namanya Widia. Widia dari FKIP Matematika. Widia akan ditugaskan menjadi seorang guru Ia ditugaskan di wilayah yang masih kurang pendidikan. Sebelum  naik pesawat aku mencium tangan ayah dan ibu sambil meminta do’a kepada mereka. Ibu masih tidak bisa menerima kepergianku. Aku tetap pergi, pergi pilihanku yang tepat untuk mengindari bahaya besar bagi hidupku. Pesawat Garuda Airlines pun terbang ke udara dengan bebas, selamat tinggal kota Jakarta. Pasti aku merindukanmu, sepulangku dari Kalimantan pasti banyak cerita yang akan tercurah.
            Jika rutenya dijelaskan secara singkat, dari Jakarta naik pesawat ke Balikpapan, selanjutkan kami menikmati keistimewaan yang ada di kota Balikpapan. Aku datang ke Kalimantan sebagai pengamat gizi di sebuah desa  bernama Desa Apau Ping. Semoga tugasku bersaman Widia berjalan dengan lancar. Beberapa hari di Balikpapan kami melanjutkan perjalanan menuju Tarakan.
            Saat tiba di Tarakan, aku merasa ada naluri yang membuat bulu kuduk berdiri setiap saat. Apalagi mendengar cerita Widia tentang suku Dayak Kalimantan. Perasaan takut terus menghantui selama perjalanan menuju Kabupaten Malinau. Sesampainya di Manilau kami mengurus surat-surat yang diperlukan. Dari Mainau masih ada satu penerbangan lagi, dengan pesawat yang lebih kecil untuk sampai ke Kecamatan Bahau Hulu. Penerbangan dari Kota Malinau ke Bahau Hulu hanya dapat dilakukan dengan pesawat berkapasitas 9 penumpang. Pilatus Porter nama pesawat baling-baling yang membawa kami mendarat di landasan tanah beralaskan rumput.
            Dari landasan inilah, perjalanan sesungguhnya dimulai. Kami menggunakan ketinting, sebutan untuk perahu kayu berukuran kecil dan panjang yang menjadi satu satunya moda transportasi menuju pedalaman di Malinau. Area Bahau Hulu masih berupa hutan luas. Untuk mencapai Desa Apau Ping harus menyusuri sepanjang sungai Bahau. Membutuhkan waktu berjam-jam menuju ke Desa Apau Ping, perjalanan juga dilakukan dengan berulang kali naik turun ketinting. Saat melewati jeram kami harus turun dan berjalan melewati bebatuan, kemudian ketinting akan ditarik pengemudi dan juru batu kapal.
            Berkelana di hutan tidak tersentuh pedalaman Kalimantan ini benar-benar menyenangkan. Rasanya tenang, damai, tanpa sinyal, tanpa keributan. Keadaan tersebut menjawab semua rasa ketakutanku saat itu. Aku  benar-benar merasa terasing entah di mana. Aku tidak perduli karena asyik menikmati pemandangan sekeliling pepohonan rimbun sambil menyusuri sungai.
            Apau Ping berjarak tiga jam perjalanan dari landasan udara di Bahau Hulu. Jauh dari kota besar, kehidupan di desa ini cukup sulit, aku sempat terkejut ketika mengetahui harga bahan bakar Rp 20.000 perliternya.
            Sesampainya di Desa Apau Ping, kami disambut oleh bapak Yusuf Apoe sebagai kepala desa. Kemudian mengantar kami ke lapangan tengah desa, di mana masyarakat desa dengan baju adat Dayak menari menyambut kami. Yang menarik bukan hanya tarian adat ataupun pakaian suku dayak. Alat musiknya pun tradisional dan semuanya dibuat sendiri. Kemudian ada satu hal lagi yang mengusik rasa ingin tahuku, anting anting tradisional suku dayak Kenyah diikatkan ke tali rafia, tidak lagi ke telinga mereka.
            Setelah berbagai acara kami nikmati, selanjutnya kami diantarkan ke sebuah rumah, tempat tinggal selama di Apau Ping. Rumah yang aku tempati berbeda dengan Widia, kami berpisah. Aku tinggal di rumah panggung panjang milik bapak Kadi seorang tokoh masyarakat Apau ping. Istri bapak Kadi sangat baik padaku, sebutan ‘Mama’  cocok untuk wanita setengah baya itu. Di Apau Ping aku mendapatkan kesulitan berinteraksi. Untungnya mama setia membantuku berbicara dengan masyarakat asli Kenyah yang kurang mengenal bahasa Indonesia.
            Setiap pagi pergi kepasar bersama mama untuk membeli bahan makanan pokok. Untuk mencapai pasar kami menggunakan jasa ketinting. Selain bahan bakar yang mahal, ketinting juga sangat lambat dalam menempuh perjalanan. Mama selalu menjelaskan padaku sulitnya hidup di pedalaman dengan akses transportasi yang minim. Listrik pun belum  menjangkau pedalaman ini. Mama mengharapkan bantuan pemerintah agar dibangun pembangkit listrik tenaga air (PLTA). Di sana listrik yang hanya dinyalakan dari jam 7 malam hingga jam 6 pagi. Dulu masyarakat sini banyak yang pindah ke Malaysia, tambah mama.
            Lokasi Apau Ping memang berbatasan dengan Malaysia. Dahulu banyak warga desa yang berjalan berhari hari melewati hutan untuk sampai dan menetap di Malaysia. Saat ini warga yang tersisa berupaya bertahan, sebagian membuat kerajinan yang dijual ke Bahau Hulu, sementara kebutuhan sehari hari didapat dari bercocok tanam. Melihat kondisi sangat miris ini, ditakutkan jika pemerintah tidak memberikan kasih sayang kepada mereka, maka mereka akan berusaha menjadi warga Malaysia seutuhnya.
            Hari pertama aku dipertemukan dengan semua warga desa Apau Ping. Saatnya menjalankan tugas. Mula-mula aku memberikan penyuluhan tentang gizi yang baik.tidak lupa pula takaran yang harus dikonsumsi setiap harinya. Penyuluhan ini aku didampingi oleh bapak Yusuf Apoe dan perangkatnya. Kemudian salah satu pemuka adat memberikan penjelasan menggunakan bahasa dayak Kenyah.
             Aku memeriksa kesehatan warga yang hadir, bersama dengan tenaga teknis kesehatan Poskesdes Apau Ping. Banyak anak-anak kecil yang menangis menjerit ketika aku memeriksanya. Aku sedikit bingung, usaha apa yang harus dilakukan agar mereka tidak menangis ketakutan. Mungkin mereka belum kenal denganku. Padahal aku adalah gadis yang cantik.
            Untuk kegiatan yang selanjutnya, aku mendatangi rumah-rumah warga untuk melihat bagaimana mereka memasak makanan. Mulai dari bahan yang dimasak sampai mencicipi semua jenis masakan ibu-ibu yang ada di Apau Ping. Saat aku mendatangi sebuah rumah panggung lapuk. Mataku terpesona melihat berbagai lukisan yang tertempel di dinding kayu. Ternyata yang melukis gambar-gambar itu adalah Ikhsan anak bungsu dari pasangan pemilik rumah.
            Keusilanku timbul saat itu juga. “ibu, bolehkan salah satu lukisan yang ditempel ada satu untukku?” tanyaku sambil sedikit tersenyum malu.
            “boleh, silahkan. Nak Ayu, kalau tidak ada kegiatan lain di waktu sore, bisakah nak Ayu mengajari anak-anak menggunakan bahasa Indonesia,?” tanya ibu itu dengan bahasanya yang khas.
            “tentu saja ibu, boleh, datang saja kerumah pak Kadi, kebetulan saat sore saya tidak punya kegiatan lain,” jawabku dengan penuh keriangan.
            Dari sejak itulah banyak anak-anak datang kerumah dengan membawa buku tulis serta pensilnya. Aku merasa bangga, anak-anaknya memiliki semangat menggebu untuk menimba ilmu.
            Anak pedalaman yang jauh dari modernisasi dan sarana yang lengkap namun keinginannya untuk belajar sangat luarbiasa. Banyak hal-hal penting yang aku dapatkan saat bersama anak-anak pedalaman Kenyah. Tidak disangka mereka sangat mudah menangkap pelajaran yang hanya berapa kali aku ucapkan. Mereka bisa menghafal berbagai nama negara dalam beberapa jam saja.
            Sore menghentikan sang surya untuk bersinar, tetapi anak-anak Kenyah belum ingin beranjak dari duduknya. Masih asyik menghafalkan bait-bait sumpah pemuda yang aku ajarkan.
            “kak, Ayu, aku sudah hafal isi sumpah pemuda, biarkan aku mengucapkannya dengan lantang,” seru seorang bocah yang bernama Balulu.
            “iya, Balulu ayo coba, yang lantang ya bacanya, kalau bisa semua orang yang ada di sini terkejut,” kataku sambil memberikan semangat. Kemudian Balulu mulai membaca.
            “Kami putra putri Indonesia mengaku, bertumpah darah yang satu, tanah air Indonesia. Kami putra putri Indonesia mengaku, berbangsa satu bangsa Indonesia.  Kami putra putri Indonesia mengaku, menjunjung bahasa persatuan bahasa Indonesia,” Seru Balulu dengan semangat yang menggelegar.
            “pintar Balulu, kamu adalah berlian diantara rumpunan hutan yang rindang, suatu saat khalayak orang mengetahui keberadaan serta kegigihanmu,” ujarku dengan tetesan air mata.
            Segera anak-anak Kenyah memelukku bersama-sama. Kesempatan ini hanya terjadi beberapa kali dalam kehidupanku. Terselinap kebahagiaan yang tak pernah aku dapatkan sebelumya meskipun hidup di tengah hutan belantara. Ternyata masih banyak orang yang sama sepertiku. Berkeinginan kuat untuk mengabdikan diri pada tanah air. berbeda dengan kehidupanku di Jakarta, serba dilayani oleh ibu, dipenuhi semua keinginan oleh ayah. Anak-anak ini belajar seadanya tetapi kepintarannya tidak bisa diremehkan.
            “kak Ayu, kalau kakak kangen dengan orang tua kakak, panggilah kami kak, kami siap untuk menghibur, kami janji setiap pulang sekolah, kami akan datang untuk kakak, jangan pulang kak. Kami masih ingin belajar bersama kakak,” Seru Naba.
            Mendengar permintaan Naba hatiku berdenyut lemah. Betapa mereka menyayangiku sehingga tidak mau berpisah dariku. Aku menjawab dengan sedikit anggukan. Tangan kecil Ikhsan menyentuh pipiku menghapus air mataku yang mengalir. Kupandangi anak-anak yang berkulit coklat itu satu persatu sambil terus menangis. Melihatku menangis anak-anak itu, ikut menangis. Tiba-tiba Ikhsan angkat bicara.
            “kak Ayu jangan menangis lagi, bagaiman kalau kita main layangan peteng, besok hari libur,” sambil menghentikan tangisnya.
            Belajar demi belajar kami lalui, tidak tersa waktu bergulir dengan cepatnya. Aku mengajarkan kebiasaan setelah kegiatan belajar. Sebelum pulang kami selalu berdoa, mereka mengucapkan doa. Bukan hanya padaku mereka menerapkan etika mulia itu tetapi pada orang tua, kakek, nenek serta guru-gurunya. Begitu terpujinya akhlak anak pedalam, mereka menghormati orang yang lebih tua.
            Sesuai dengan perjanjian sebelumnya, kami bermain, berlari bersama layangan di tanah Kenyah. Ikhsan menjemputku kerumah.. Ikhsan berlalri sedikit jauh, aku berusaha mengejarnya. Lapangan yang luas nan hijau, udara alam pedesaan yang begitu sejuk, membuatku terhanyut untuk beberapa saat. Sebelum Balulu mengejutkanku.
            Ikhsan duduk dengan buku gambar dan pensilnya, Ia mulai melukis kebersamaan kami. Lukisan Ikhsan sangat indah, semuanya tampak bernyawa. Setelah matahari cukup tinggi, kami duduk di bawah pohon yang rindang. Kami makan bersama. Saling tukar lauk, saling menrasa satu dengan yang lainnya. Cerita yang indah terukir pada hari itu. Ilmu pengetahuan selalu aku tularkan kepada mereka. Aku juga membagi pengalamanku menjadi seorang mahasiswa di Universitas Gajah Mada.
            “siapa yang mau melanjutkan sekolahnya ke UGM, ayo angkat tangannya?” seruku dengan semangat.
            “aku kak,!!! Serentak anak-anak Kenyah mengangkat tangannya ke atas.
            “bagus, adik-adiku. Kalian harus bisa belajar di sekolah yang luar biasa karena otak kalian pantas untuk itu, kakak tunggu kehadiran kalian semua,” seruku sambil menyuapkan nasi pada mereka.
            Sekitar pukul 11.00 WITA, kami bergegas pulang kerumah. Ternyata bapak Yusuf telah menungguku sejak tadi. Beliau pun menjelaskan maksud kedatangannya. Surat tugasku hampir selesai, waktu dekat ini sepertinya aku harus kembali ke Jakarta.
            “alhamdulillah pak, tidak terasa hampir empat bulan lamanya saya berada di Apau Ping,” ujarku tersenyum.
            “kalau betah, tinggal saja di sini, kami senang nak Ayu berada di desa kami,” sahut bapak kepala desa dengan lugasnya.
            Waktuku di desa Apau Ping tersisa dua hari . Telah banyak kenangan berharga yang tak pernah terlupakan selama perjalanan hidupku. Aku mulai merapikan pakaian untuk pulang. Mama tidak merelakan kepulanganku ke Jakarta. Mama selalu berkata,”jangan pulang dulu nanti saja”. Tapi tugasku di Jakarta sudah menunggu.
            Warga desa berdatangan membawakan oleh-oleh. Mulai dari makanan hingga buah-buahan. Sebelum aku pulang, warga berkumpul di balai desa. Acara perpisahan terurai diantara kami. Aku sangat berterimakasih terkhusus mama dan pak Kadi yang mengurusku selama aku di Apau Ping. Permintaan maaf yang seikhlas-ikhlasnya pun terucapkan.
            Sore hari setelah acara perpisahan dengan masyarakat Kenyah. Anak-anak suku Kenyah berkumpul mengutarakan semua isi hatinya masing-masing. Kami berkumpul seperti biasa, mereka masih membawa buku tulis dan pensil. Kami masih belajar layaknya tidak ada perpisahan yang akan tetjadi. Untuk kesekian kalinya aku merasa bangga terhadap mereka.
            “kak Ayu, aku ingin bernyanyi. Bagaimana kalau kita menyanyikan lagu Indonesia Pusaka,” pinta Duwi.
            “baiklah, kita mulai. Semuanya harus bernyanyi dengan semangat, ikuti perintah kakak ya,1, 2,3,” kami bernyanyi bersama-sama.
Indonesia tanah air beta
Pusaka abadi nan jaya......
            “kak satu lagi, lagu yang kakak ajarkan pada kami, lagu itu bejudul Tanah Airku,” seru Ikhsan.
            “boleh, 1,2,3 mulai,” seruku melepaskan rasa sedih akan berpisah dengan mereka.
Tanah airku tidak kulupakan
Kan terkenang selama hidupku......
            Tak terasa air mata ini mengalir, anak-anak kecil itupun ikut menangis sejadi-jadinya. Banyak para warga yang menyaksikan apa yang kami lakukan. Mereka ikut haru. Pada saat itu Balulu membacakan puisinya untukku. Tujuan dari puisi itu ucapan terimaksih dan larangan untuk pulang.  Air mataku terjun bebas dari pelupuh mata. Setelah itu kami berpelukan dengan sendu menumpahkan kasih sayang. Anak yang berjumlah sembilan itu aku cium satu persatu, untuk terakhir kalinya.
            Malam ini waktunya berkemas barang, tak lupa aku bawa lukisan Ikhsan. Sebagai kenang-kenangan sekaligus obat pelipur rindu dengan suku Kenyah. Keesokan harinya aku pulang. Mama dan pak Kadi, pak Yusuf dan masyarkat lainnya juga ikut mengantarkan ke lapangan Bahau Hulu. Aku memeluk mama sambil menagis. Akhirnya kapal terbang menjemputku. masih di tempat yang sama ketika pertama kali aku meninjakkan kaki di Bahau Hulu. Lambaian tanganku mengakhiri petualangan di Malinau.
            Berbagai rangkaian perjalanan menuju Jakarta telah terlewati. Tibalah di Bandara Soekarno-Hatta. Ayah dan ibu telah menjemputku. Ibu sangat bahagia melihat aku kembali. Sesampainya di rumah, aku segera merapikan barang-barang dari koper. Menyusunnya di tempat semula. Lukisan Ikhsan aku pajang di kamar.
            Sebulan setelah aku kembali dari Kalimantan, ada festifal melukis untuk anak-anak SD/sederajat. Aku mencoba mengikutkan karya Ikhsan dalam sayembara itu. Hasilnya sangat memuaskan, lukisan sederhana namun memilki keindahan yang tersembunyi. Lukisan itu dihargai oleh juri sebagai juara satu dalam ajang lomba melukis tingkat nasional. Betapa bahagia hatiku, bisa membuktikan anak pedalaman juga memiliki keistimewaan. Aku kirimkan surat dan piala serta bingkisan ke Apau Ping untuk Ikhsan. Sebulan kemudian aku mendapat kiriman balasan dari Apau ping. Bahtera  bahagianya sampai di tanganku lewat sebuah kertas. Ikhsan sangat senang mendapatkan penghargaan itu.
            Setelah mendapat pengalaman tak ternilai dari Kalimantan. Timbullah gagasan di otakku. Aku berupaya mendirikan beberapa sekolah khusus siswa berprestasi yang tidak mampu. Nama sekolah yang aku dirikan adalah Berlian atau Diamond. Baru beberapa bulan sekolah Berlian berdiri, banyak sekali anak-anak yang tidak mampu menjadi siswanya. Siswa sekolah Berlian dimulai dari TK hingga SMA. Semoga dengan upaya ini aku bisa menjdi orang yang berguna bagi manusia lainnya. Disamping seorang pelajar aku mampu memberikan fasilitas belajar pada insan lainnya.
            Semuanya berawal dari pengalaman. Terimakasih pengalaman, kau telah mengajarkanku arti kehidupan yang sebenaranya. Pengalaman telah membuka jalan baru untukku. Pengalaman mengajarkanku saling mencintai dalam kebersamaan.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar