Senin, 17 April 2017

Penantian Senja di Lubuk Laut



Penantian Senja di Lubuk Laut
oleh Puji Lestari Aji

            Saat aku kerdipkan mataku dengan tenang. Aku melihat sesosok bayangan berdiri di atas panggung. Siapakah gerangan? Hatiku bertanya berdayu. Mengusap mata saja cukup bagiku untuk memperjelas pandanganku. Seperti halusinasi namun demikian adanya. Ternyata Bukan siapa-siapa. Dia Sam, sahabat lamaku. Tetapi kenapa dia pagi-pagi Buta sudah ada di rumahku? Aku tak menanyakan hal itu. Segera mengambil air wudhu dan solat bersama bapak dan Ibuku diapun ikut serta. Selesai salam aku bertanya.
            “Hai Sam, angin apa yang membawamu kemari di hari yang masih gelap?”
            “Aku berjanji Bukan? untuk mengajakmu melihat sinar fajar.”

            “Oh, iya aku hampir lupa jika kita memiliki janji kemarin.”
            “Izinlah dahulu pada bapak dan Ibumu.”
            “Baiklah Sam, mereka telah mengizinkan. Kau tenang saja.”
            Akhirnya kami sepakat pergi melihat surya terbit. Aku bergegas membawa senter dan peralatan lainnya. Sam sangat terkejut melihat apa yang  kubawa. Bagi Sam perlengkapan itu tak perlu. Hanya akan menaiki Bukit dan tebing saja untuk sampai ke sana. Aku tidak menghiraukan apa yang Sam katakan. Tapal demi tapal kami lewati.
            “Lihat sebentar lagi kita akan sampai di puncaknya Vin.”
            “Benar sekali Kau bicara, sejuk emBun mulai gemiricik di lenganku yang basah.”
            “Ayo! panjat dengan hati-hati Vin.”
            Akhirnya kami menemukan ketinggian Bukit. Saat itu hanya bisa ku lihat dari belakang rumah saja. Kini aku mulai mengerti makna semua yang dibicarakan oleh Sam tempo hari. Perlahan suryaku mempertontonkan wajahnya.
            “Maknailah warna surya itu Vin.”
            “Baiklah Sam, segala keputusanmu adalah perintah bagiku.”
            “Tutup matamu sahabatku, hiruplah kehidupan yang diberikan oleh sinar fajar di pagi hari, jangan hanya menatap surya akan menenggelamkan wajahnya.”
            “Kau berkata selalu iya dan benar, dari dulu aku hanya melihat sang surya akan tenggelam oleh waktu. Dan Kau tahu sahabatku, awan mulai memerah dan gelap menghantui jasad serta jiwaku. Terima kasih Bukan untuk terakhir dan pertama padamu.”
            Baru beberapa detik, hujan datang mengguyur aku pun tidak menemukan sinarnya lagi. Awan begitu tebal menutupinya. Hal yang aku dan Sam lakukan hanya sia-sia saja. Alam tidak memihak padaku hari ini. Sam memandangiku yang mulai basah lantas air hujan. Wajahnya memandang sejuta kekecewaan yang menimpa saat ini. Aku berusaha sadar dan tiada salah. Barulah dia tenang setelahnya.
            “Kita pergi untuk pulang ke rumah, bapak Ibumu akan khawatir.”
            “Baiklah Sam, mari bawakan jalan pulang untukku.”
            Digandengnyalah tangan penuh intan dan permata suci itu. Kenapa dia masih peduli pada kecewanya ini? Bukan hal yang pantas untuk dijawab pertanyaan itu. Perjalanan penuh teka-teki kini kujalani. Tangannya masih merekat bagaikan perangko ketanganku. Aku tidak merasa yang lainnya. Dia sahabatku, Bukan siapa-siapa.
            “Perhatikanlah pijakkanmu Vin, jangan salah langkah, Kau bisa terjerembab ke jurang.”
            “Aku akan memperhatikan tanah dan batu saja, pandanganku sudah Kau gantikan Bukan, Sam?”
            “Bicaramu tak seperti dulu lagi.”
            “Manakala aku berubah, itu karena dirimu Sam.”
            “Kesetianku pada persahabatan ini masih diliputi sikap egoismu Bukan, Vin?”
            “Kau bertanya seperti menuduh ku Sam,” kakiku terhenti berderap.
            Aku sejenak memandangi sahabat karibku itu. Wajahnya sudah Bukan Sam yang kecil dan imut. Tapi wajah yang penuh menawan dan mampu menyiksa hati wanita yang ada di sekelilingnya. Sebentar dia tertatap di mataku. Namun, segera dia menarik tanganku yang seakan sedang mengaguminya sedari emBun belum menetes.
            “Vin, kenapa Kau mencintai seseorang yang tidak pernah dilahirkan ke dunia.”
            “Siapa Sam yang sanggup melahirkan belahan jiwaku itu?”
            “Ucapanmu seakan menentang adanya Tuhan Vin.”
            “Tidak Sam, kalau aku menentangnya mungkin saat ini aku tidak berzikir kepada-Nya.”
            “Lantas apakah maksud dari guraumu tadi?”
            “Semuanya Kau anggap bergurau Bukan?”
            “Tidak, aku merasa ada yang bertanya dari tatapanmu itu.”
            “Aku hanya bertanya pada seonggok daging yang memiliki nama penuh makna dan penting dalam hidupku.”
            “Apa maksudmu?”
            “Bukankah Kau mengatakan, jika dirimu ini putra sang fajar?”
            “Kehidupanku adalah perjanjian yang telah kuBuat sebelum ruh ditiupkan dalam jasadku Vin, jangan Buang waktumu untuk mengungkit kata-kata lawasku.”
            Ingin mengetahui rahasia apa yang sedang dIbuatnya. Cengkraman ini penuh pertanyaan yang tak terjawab oleh waktu. Kata Bukan. Tindakan juga Bukan. Hanya mengambang saja antara ada dan tiada.
            Sam mengantarku pulang kerumah. Aku pandangi dia berjalan hingga punggung yang lelah itu lama kelamaan tidak terlihat. Aku segera membersihkan diriku yang dekil dan lusuh. Ibu memBuatkan sarapan pagi untukku. Bapak sudah pergi ke sawah untuk melihat perkembangan padi.
            “Makanlah nak, kenapa sedari tadi Kau berpandangan saja dengan nasimu?”
            “Iya Bu, aku akan memakannya setelah Sam mengirimkan pesan.”
            “Lama kemungkinan.”
            “Aku tahu, tapi aku rasa dia belum menyuap nasi walau sesendok pun Bu.”
            “Dia anak yang selalu taat pada Ibunya, dia rela membahayakan diri untuk Ibunya, bersyukurlah Kau Vin, masih ada Ibu dan bapak. Lihatlah Sam, dia hidup hanya dengan Ibunya setelah ayahnya tertembak di Timor Timur lima tahun yang lalu.”
            “Kenapa dia menutup diri pada wanita Bu?”
            “Kau tahu, ayahnya seorang jenderal besar, banyak memiliki selir dimana-mana. Ibunya adalah istri pertama ayahnya yang sah dan diakui dalam keprajuritan. Namun, sepertinya Ibu Hasna tidak bahagia, karena banyak sekali wanita lain dalam hidup suaminya. Maka dari itu Sam tidak ingin seperti ayahnya yang selalu menyakiti hati ibunya.”
            “Iyakah Ibu? kasihan benar sahabatku itu.”
            Rasa laparku hilang. Aku ingin bertemu dengan Sam saat ini. Ada sesuatu yang ingin aku bicarakan pada sahabatku itu.
            “Sam!”
            “Hasrat apa yang membawamu kemari?” Tanya Sam ketus.
            “Hai Bibi, apa kabarmu?”
            “Baik Vin, lama tidak mengunjungi rumah Sam, kemana saja dirimu?”
            “Aku baru pulang dari laut Bi.”
            “Ayo masuk, kita masak. Semoga Kau belum makan siang ya Vin, Bibi belikan singkong manis dan sayur nangka”
            “Iya Bi, mari aku bantu.”
            Dari raut wajahnya Sam tidak suka dengan kehadiranku. Aku mencoba tidak menghiraukan wajahnya. Aku sibuk membantu bibi merapikan sayuran di lemari es. Aku cukup terampil dengan pekerjaan ini.
            “Banyak sekali yang Bibi beli, Bukankah kalian hanya berdua?”
            “Bibi lupa, nanti sebentar lagi ada tamu dari kota, istri ayah Sam yang kedua bersama anak perempuannya, seusiamu Vin.”
            “Kenapa Sam tidak pernah bercerita tentang saudaranya yang lain Bi?”
            Lantaran kesal mendengar pertanyaanku. Sam segera meninggalkan tempat kami berdua. Dia marah dan masuk ke kamarnya. Aku keheranan. Saling berpandangan dengan Bibi Hasna.
            “Kau jangan terheran Vin, dari yang lalu Sam tidak senang dengan istri-istri ayahnya yang lain termasuk dengan saudara tirinya.”
            “Iya Bibi, aku tahu masalah sahabatku itu.”
            “Kau mau kemana? jangan dekati Sam saat ini, pasti dia sangat marah. Kau dijadikan bahan pelampiasannya nanti.”
            “Sudah biasa Bibi.”
             Aku yang bersikeras untuk berbicara dengan Sam. Ia pun keluar kamar dan mendorongku hingga aku terjerembab di lantai. Wajahnya yang beringasan penuh amarah siap menamparku. Aku mulai meneteskan air mata. Tangannya yang mengepal dan mukanya merah merona siap menghantamku. Aku hanya berpasrah, semoga dengan begini dia tidak marah lagi pada Bibi Hasna. Benar saja Sam menamparku dan menyuruhku enyah dari hadapannya.
            “Apakah Kau puas Sam, setelah menamparku? Jangan rusak wibawamu dengan melukai hati ibumu sendiri. Aku tahu perasaanmu saat ini, aku minta maaf,” Aku berlalu sambil menangis. Sam masih mematung di tempatnya.
            “Vin, apa yang dilakukan oleh Sam? Vin tunggu Bibi.”
            Aku pergi membawa sejuta kekecewaan. Aku marah pada siapa? Aku pergi dengan segenap luka hatiku. Aku tidak menghiraukan siapapun yang melihatku saat itu. Hanya memikirkan lukaku saja. Aku memang egois.
***
            Sejak kejadian itu, aku memutuskan untuk tinggal di kota.   Aku menetap di kota bersama Ibu dan bapak. Selama aku di kota Sam tidak pernah mengunjungiku. Jika aku bertanya pada Ibu. Katanya Sam sudah meninggal akibat longsormya Bukit Lubuk Laut. Aku pun melupakannya.
            Melanjutkan ke perguruan tinggi itulah pilihanku. Kini aku sudah memasuki masa KOAS kebetulan aku kuliah di bidang kedokteran umum. Usiaku tidak muda lagi. Kejadian itu sekitar delapan tahun yang lalu. Aku sudah menguburnya jauh-jauh. Banyak sahabat baruku.
            Kegiatan di perkotaan sangat beda dengan di desa. Pada waktu malam kami hanya  makan malam, tapi di desa kami mengaji bersama di surau tua. Rasanya aku ingin pulang ke desa. Ibu dan bapak tidak mengijinkan. Walau bagaimanapun desa itu menyimpan sejuta kenangan. Aku ingin kembali. Aku ingin menemui Sam.
            “Ibu, aku ingin kembali ke desa. Setelah aku diwisuda nanti, aku ingin bertemu seseorang.”
            “Sam?”
            “Iya Ibu, dia sahabatku. Bagai manapun, dia berulang kali menyelamatkanku, dan mengantarku pada Ibu.”
            “Jangan kecewakan mendiang ayahmu Vin.”
            “Semuda ini aku telah banyak mengalami cobaan Bu. Pertama aku harus kehilangan sahabat karibku. Berikutnya aku harus menerima kepergian bapak. Lukaku ini masih membekas. Pertanyaanku belum ada yang terjawab, aku hanya bisa terisak di malam yang sunyi, apakah ibu tidak ingin melihatku bahagia?”.
            Sudah dua tahun bapak pergi, kami ditinggalkan begitu saja. Apakah beliau bertemu dengan Sam di surga. Tidakkah? Karena Sam masih hidup. Dia adalah putra sang surya tidak mungkin pergi pasrah dengan cara yang konyol.
***
            Hari yang kunantikan kini telah tiba. Akhirnya aku diwisuda sebagai dokter muda. Terima kasih Tuhan, aku bangga pada diriku.  Aku bekerja di salah satu rumah sakit kota. Gajiku lumayan untuk menghidupi diri. Kebetulan bapak memiliki banyak uang tabungan dan sawah di desa. Mampu menyekolahkan aku hingga lulus. Sekarang aku sudah bisa menjadi tulang punggung keluargaku. Aku hidup hanya dengan Ibu. Sudah saatnya aku ingin mencari sosok laki-laki dalam hidupku.
            “Ibu, apakah Bapak pernah berwasiat tentang kehidupanku?”
            “Tidak nak, bapakmu hanya berpesan agar Kau menjadi seorang dokter. Itu saja permintaannya sebelum meninggal.”
            “Aku akan ke desa Bu, mencari Sam.”
            Dengan hati yang ragu aku langkahkan kaki menuju desa. Perjalanannya cukup lama. Setelah aku turun dari kereta aku harus menggunakan jasa Bus dan dokar. Aku harus kuat menahan terik matahari.
            Alam pedesaan yang sejuk mulai tercium. Masih seperti dulu. Untuk menempuh desaku harus melewati desa lain dahulu. Tibanya di perbatasan desa aku minta kusir untuk menghentikan kaki kudanya. Aku turun dari dokar. Mengucapkan salam untuk tanah kecilku ini. Pijakan pertama membawa kedamaian yang tiada tara. Inikah alamku yang dulu? Sangat sejuk seperti embun. Sangat harum seperti melati. Sangat indah seperti taman seribu bunga. Aku rauk tanah di genggaman tangan halus. Aku resapi sertiap sentuhan tanah itu. Akhirnya aku kembali bukan? Aku telah kembali untukmu. Jangan biarkan aku tertimpa nistaku lagi. Semoga orang yang dikehendaki ada di sini menungguku. Selamat Pagi Lubuk Laut desa kecilku yang permai.
            “Mari Nona, naik lagi rumah nonya Hasna masih jauh.”
            Aku kembali naik ke dokar. Aku duduk kembali. Pikiranku sudah berkaca-kaca. Ingin segera jumpa. Mudah-mudahan dia ada. Hidup untukku.
            Rumah yang terlihat usang. Pintunya terbuka lebar. Terlihat banyak sekali wanita seusia ibuku mondar mandir. Akan ada acara apa di rumah Sam?
            “Permisi Ibu, apakah Bibi Hasna ada di rumah?”
            “Ada, sebentar saya panggil kan untukmu.”
            Aku masih tidak percaya. Aku berada di rumah seseorang yang selalu hadir di mimpiku itu.
            “Kakak, ada yang datang mencarimu. Dia seorang dokter dari kota. Gadis cantik mencarimu. Apakah di hutan ini ada tempat pemandian bidadari?”
            Wanita yang kutunggu akhirnya muncul juga. wajahnya terlihat berseri tanpa duka. Jika Sam pergi tidak mungkin bibi Hasna sehat dan cantik seperti itu.
            “Vina!”
            “Bibi Hasna. Aku sangat merindukanmu.”
            “Lama tidak menemui Bibi, Kau tahu Bibi seperti tak bernyawa tanpamu.”
            “Bibi bisa mengenalku dengan baik, tidak adakah yang berubah, setelah delapan tahun masa remajaku?”
            “Tidak sayang, Kau cantik dengan lesung pipitmu itu.”
            “Terima kasih Bibi.”
            Rencana besarku telah terpenuhi. Namun, dia tidak muncul dari biliknya. Banyak gadis dan anak-anak kecil yang berlarian kesana kemari. Apakah Sam telah menikah? Kenapa tidak mengundangku? Sebegitu teganya dia melupakanku?
            Aku berangkat mendekati lemari. Dulu aku pernah tersantuk pinggiran lemari ini saat bermain dengan Sam. Bayangan masa kecil yang menggembirakan itu sangat nyata.         
            “Bibi di mana Sam? Aku ke sini mencarinya. Sudah sewindu aku berpisah tanpa kabar. Rasanya rindu sekali. Apakah dia menjadi prajurit seperti ayahnya? Seorang polisikah? Pengusaha? Dokter?”
            “Kau yakin Vin dia masih hidup?”
            “Iya Bibi, aku sangat yakin.”
            “Sam masih hidup, dan terus menunggumu Vin. Dia seorang dokter juga, anak laki-laki yang pintar. Berkat kepintarannya itu saat ini dia sedang bersekolah spesialis organ dalam di kota. Semua saudara tirinya sudah menikah kecuali dia dan adiknya, Dinar. Setiap malam dalam igaunya namamu yang tersebut. Tiada lain. Bukan Bibi atau Ayahnya. Dia tidak akan menikah tanpa kehadiranmu Vin. Kaulah sahabat satu-satunya yang dia sayangi. Bibi khawatir jika Kau tidak bertemu dengannya. Kapan dia akan menikah?”
            Bibi Hasna bercerita seolah-olah Sam akan segera bertunangan dengan kekasihnya. Hati sangat kecewa mendengar tutur bibi Hasna. Aku pamit untuk melihat rumahku di laut. Kehampaan itu aku bawa pergi. Mungkin aku tidak lupa jalan dari rumah Sam ke rumahku. Mata ini terus berbicara dengan tangisnya. Aku sadar, benar kata bapak. Jangan mencari Sam lagi. Kata hatiku salah sekarang. Langkahku begitu cepat. Beberapa menit tak terasa aku berjalan akhirnya tiba juga.
            Rumah ini tak sehangat dulu lagi, saat ada bapak dan Ibu. Kupandangi semua sudut terlihat tawa bapak menghantuiku. Aku mulai mengenangnya satu persatu. Aku tidur di kamar lamaku. Mbok Mirna sangat menjaga kamarku ini. semuanya terawat baik. Aku Buka lemari lusuh itu. Ternyata masih ada sarung Sam yang dipakai ketika salat bersama dulu. Aku melirik jendela. Rasanya ada Sam sedang memandangiku.
            “Sam?”
            Itu hanya khayalanmu saja Vina. Tidak ada Sam di sana. Bukan tambah bahagia aku mengunjungi desa kecilku ini. Rasanya luka dalam hatiku bertambah dalam. Semua yang kupandang menyimpan banyak kenangan bersama Sam maupun bapak. Tidak terasa aku tidur dalam sedihku bersimpuh di pojok lemari.
***
            Berdecak langkah kakiku menginjak tanah dan rumput yang masih basah lantaran hujan tadi. Wajahku merah merona keterpa angin pagi. Badanku sedkit kedinginan. Mantelku ini masih bisa dihembus angin. Setiap orang yang berpapasan, selalu menatapku tersenyum. Aku sangat cantikkah? Berlian hutan batas akan pergi meniggalkannya lagi.
            Aku masih rindu pada laut. Aku sempatkan sebelum pulang untuk mengunjungi laut. Sesekali melirik jam tanganku. Sore ini memang indah. Aku teringat saat bapak datang dengan kapalnya, membawa banyak ikan. Aku menjemputnya berlarian. Batu yang sedang aku duduki, penuh kenangan saat bersama Sam. Aku memanggang ikan dan kepiting di atas batu ini. Tetapi semuanya berubah. Aku tidak akan menunggunya seperti orang gila. Bila dia memang sahabatku yang baik, dia akan datang saat aku memikirkannya.
            Lima detik lagi matahari akan tenggelam. Aku takut melihatnya. Aku pejamkan mataku agar aku tidak bisa melihatnya tenggelam. Aku ingat pesan Sam. Jika aku terus memangdang surya tenggelam hidupku akan gelap selamanya. Karena awan yang terang akan redup membunuh semua warna yang terlihat di langit.
            Aku belum puas memandang laut yang semakin gelap. Besok aku akan kembali. Melakukan hal yang sama. Menunggumu dan memikirkanmu. Andai saja Tuhan memberiku satu kesempatan untuk bertemu dengannya. Aku ingin sekali mencurahkan semua gundahku. Bukankah dia memiliki sejuta solusi untuk semua masalah hidupku?
            Hari mulai larut aku tertegun di bibir pantai. Menyaksikan surya tenggelam. Sambil terus bersenandung.
            Rasanya aku berada di negeri yang entah berantah. Dari kejauhan ada sesorang yang mendekat. Ternyata aku tidak sendiri. Ada seorang laki-laki berjalan kemudian mematung menghadap laut sore.
            “Apa yang Kau lakukan di sini?” Tanyanya menyelidik.
            “Memandang surya yang akan tenggelam. Kau?”
            “Aku juga, karena surya yang tenggelam itu menyimpan seribu misteri.”
            “Mengapa demikian? Kau takut kah?”
            “Tidak, mereka melakukan ini untuk terbit kembali di waktu pagi, bukan?”
            “Ternyata hidupmu sudah berwarna. Sudah sanggup melihat rona kehidupan.”
            “Kau benar, aku masih ingat kata-katamu.”
            “Siapa yang Kau sebut saat Kau melamun?”
            “Sahabatku yang tercinta. Vina namanya. Aku banyak melakukan kesalahan di masa lalu. Aku mencacinya. Memukulnya. Setiap ucapanku menyiksanya. Hingga pada satu hari dia pergi karenaku. Sampai saat ini, dia belum kembali. Aku yakin dia terus menungguku datang padanya. Jika surya yang tenggelam itu membawaku padanya aku sangat bahagia.”
            “Jika dia ada di sini, apa yang akan Kau lakukan?”
            “Aku akan mengajaknya pulang ke rumahku.”
            “Kau tahu, dia selalu menunggumu. Mencarimu. Memikirkan kenangan yang lalu. Dia tidak menghiraukan sakit hatinya. Berulang kali dia menangis karena dirimu. Kau harus menebusnya dengan kebahagiaan.”
            “Tentu saja, semuanya sudah tiba, saatnya aku menjemputnya pulang.”
            “Sam?”
            “Vina. Apa yang Kau pikirkan lagi, ayo sandarkan kepalamu di pundakku. Bukankah Kau sangat merindukan aku?”
            “Aku tidak percaya ini Sam. Pertemuan yang tidak di inginkan sebelumnya.”
            “Andai Kau tahu Vina. Aku selalu menunggumu di sini. Tidak lekang dari benakku. Sekarang Kau lebih cantik dari yang ku kenal dulu.”
            “Terima kasih atas penantianmu. Aku ingin kita bersahabat selamanya. Apakah Kau akan sanggup berjanji untukku Sam.”
            “Kenapa tidak? Aku berjanji demi cintaku.”
            Jingga menenggelamkan kebahagiaan antara dua anak Adam. Tuhan telah membuat alur yang indah dalam hidupku. Aku bertemu kembali dengan cintaku. Sungguh, perpisahan sementara ini sangat membunuhku. Aku berpisah dengannya di desa ini. Aku bertemu lagi dengannya di desa ini juga. Masih di tempat yang sama. Sungguh desa yang benar-benar permai. Terima kasih Tuhan, semua rahasiamu begitu nyata. Apalagi yang akan aku lakukan kecuali menjaga cintanya yang dia berikan padaku dan berzikir padamu. Kebahagiaan di akhir ini memBuat aku semakin cinta padaMu, Tuhan semesta alam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar