Penantian Senja di Lubuk Laut
oleh Puji Lestari Aji
Saat
aku kerdipkan mataku dengan tenang. Aku melihat sesosok bayangan berdiri di atas
panggung. Siapakah gerangan? Hatiku bertanya berdayu. Mengusap mata saja cukup
bagiku untuk memperjelas pandanganku. Seperti halusinasi namun demikian adanya.
Ternyata Bukan siapa-siapa. Dia Sam, sahabat lamaku. Tetapi kenapa dia pagi-pagi
Buta sudah ada di rumahku? Aku tak menanyakan hal itu. Segera mengambil air
wudhu dan solat bersama bapak dan Ibuku diapun ikut serta. Selesai salam aku
bertanya.
“Hai
Sam, angin apa yang membawamu kemari di hari yang masih gelap?”
“Aku
berjanji Bukan? untuk mengajakmu melihat sinar fajar.”
“Oh,
iya aku hampir lupa jika kita memiliki janji kemarin.”
“Izinlah
dahulu pada bapak dan Ibumu.”
“Baiklah
Sam, mereka telah mengizinkan. Kau tenang saja.”
Akhirnya
kami sepakat pergi melihat surya terbit. Aku bergegas membawa senter dan
peralatan lainnya. Sam sangat terkejut melihat apa yang kubawa. Bagi Sam perlengkapan itu tak perlu.
Hanya akan menaiki Bukit dan tebing saja untuk sampai ke sana. Aku tidak
menghiraukan apa yang Sam katakan. Tapal demi tapal kami lewati.
“Lihat
sebentar lagi kita akan sampai di puncaknya Vin.”
“Benar
sekali Kau bicara, sejuk emBun mulai gemiricik di lenganku yang basah.”
“Ayo!
panjat dengan hati-hati Vin.”
Akhirnya
kami menemukan ketinggian Bukit. Saat itu hanya bisa ku lihat dari belakang
rumah saja. Kini aku mulai mengerti makna semua yang dibicarakan oleh Sam tempo
hari. Perlahan suryaku mempertontonkan wajahnya.
“Maknailah
warna surya itu Vin.”
“Baiklah
Sam, segala keputusanmu adalah perintah bagiku.”
“Tutup
matamu sahabatku, hiruplah kehidupan yang diberikan oleh sinar fajar di pagi
hari, jangan hanya menatap surya akan menenggelamkan wajahnya.”
“Kau
berkata selalu iya dan benar, dari dulu aku hanya melihat sang surya akan
tenggelam oleh waktu. Dan Kau tahu sahabatku, awan mulai memerah dan gelap
menghantui jasad serta jiwaku. Terima kasih Bukan untuk terakhir dan pertama padamu.”
Baru
beberapa detik, hujan datang mengguyur aku pun tidak menemukan sinarnya lagi. Awan
begitu tebal menutupinya. Hal yang aku dan Sam lakukan hanya sia-sia saja. Alam
tidak memihak padaku hari ini. Sam memandangiku yang mulai basah lantas air
hujan. Wajahnya memandang sejuta kekecewaan yang menimpa saat ini. Aku berusaha
sadar dan tiada salah. Barulah dia tenang setelahnya.
“Kita
pergi untuk pulang ke rumah, bapak Ibumu akan khawatir.”
“Baiklah
Sam, mari bawakan jalan pulang untukku.”
Digandengnyalah
tangan penuh intan dan permata suci itu. Kenapa dia masih peduli pada kecewanya
ini? Bukan hal yang pantas untuk dijawab pertanyaan itu. Perjalanan penuh
teka-teki kini kujalani. Tangannya masih merekat bagaikan perangko ketanganku.
Aku tidak merasa yang lainnya. Dia sahabatku, Bukan siapa-siapa.
“Perhatikanlah
pijakkanmu Vin, jangan salah langkah, Kau bisa terjerembab ke jurang.”
“Aku
akan memperhatikan tanah dan batu saja, pandanganku sudah Kau gantikan Bukan,
Sam?”
“Bicaramu
tak seperti dulu lagi.”
“Manakala
aku berubah, itu karena dirimu Sam.”
“Kesetianku
pada persahabatan ini masih diliputi sikap egoismu Bukan, Vin?”
“Kau
bertanya seperti menuduh ku Sam,” kakiku terhenti berderap.
Aku
sejenak memandangi sahabat karibku itu. Wajahnya sudah Bukan Sam yang kecil dan
imut. Tapi wajah yang penuh menawan dan mampu menyiksa hati wanita yang ada di
sekelilingnya. Sebentar dia tertatap di mataku. Namun, segera dia menarik
tanganku yang seakan sedang mengaguminya sedari emBun belum menetes.
“Vin,
kenapa Kau mencintai seseorang yang tidak pernah dilahirkan ke dunia.”
“Siapa
Sam yang sanggup melahirkan belahan jiwaku itu?”
“Ucapanmu
seakan menentang adanya Tuhan Vin.”
“Tidak
Sam, kalau aku menentangnya mungkin saat ini aku tidak berzikir kepada-Nya.”
“Lantas
apakah maksud dari guraumu tadi?”
“Semuanya
Kau anggap bergurau Bukan?”
“Tidak,
aku merasa ada yang bertanya dari tatapanmu itu.”
“Aku
hanya bertanya pada seonggok daging yang memiliki nama penuh makna dan penting
dalam hidupku.”
“Apa
maksudmu?”
“Bukankah
Kau mengatakan, jika dirimu ini putra sang fajar?”
“Kehidupanku
adalah perjanjian yang telah kuBuat sebelum ruh ditiupkan dalam jasadku Vin,
jangan Buang waktumu untuk mengungkit kata-kata lawasku.”
Ingin
mengetahui rahasia apa yang sedang dIbuatnya. Cengkraman ini penuh pertanyaan
yang tak terjawab oleh waktu. Kata Bukan. Tindakan juga Bukan. Hanya mengambang
saja antara ada dan tiada.
Sam
mengantarku pulang kerumah. Aku pandangi dia berjalan hingga punggung yang
lelah itu lama kelamaan tidak terlihat. Aku segera membersihkan diriku yang
dekil dan lusuh. Ibu memBuatkan sarapan pagi untukku. Bapak sudah pergi ke
sawah untuk melihat perkembangan padi.
“Makanlah
nak, kenapa sedari tadi Kau berpandangan saja dengan nasimu?”
“Iya
Bu, aku akan memakannya setelah Sam mengirimkan pesan.”
“Lama
kemungkinan.”
“Aku
tahu, tapi aku rasa dia belum menyuap nasi walau sesendok pun Bu.”
“Dia
anak yang selalu taat pada Ibunya, dia rela membahayakan diri untuk Ibunya,
bersyukurlah Kau Vin, masih ada Ibu dan bapak. Lihatlah Sam, dia hidup hanya
dengan Ibunya setelah ayahnya tertembak di Timor Timur lima tahun yang lalu.”
“Kenapa
dia menutup diri pada wanita Bu?”
“Kau
tahu, ayahnya seorang jenderal besar, banyak memiliki selir dimana-mana. Ibunya
adalah istri pertama ayahnya yang sah dan diakui dalam keprajuritan. Namun,
sepertinya Ibu Hasna tidak bahagia, karena banyak sekali wanita lain dalam
hidup suaminya. Maka dari itu Sam tidak ingin seperti ayahnya yang selalu
menyakiti hati ibunya.”
“Iyakah
Ibu? kasihan benar sahabatku itu.”
Rasa
laparku hilang. Aku ingin bertemu dengan Sam saat ini. Ada sesuatu yang ingin
aku bicarakan pada sahabatku itu.
“Sam!”
“Hasrat
apa yang membawamu kemari?” Tanya Sam ketus.
“Hai
Bibi, apa kabarmu?”
“Baik
Vin, lama tidak mengunjungi rumah Sam, kemana saja dirimu?”
“Aku
baru pulang dari laut Bi.”
“Ayo
masuk, kita masak. Semoga Kau belum makan siang ya Vin, Bibi belikan singkong
manis dan sayur nangka”
“Iya
Bi, mari aku bantu.”
Dari
raut wajahnya Sam tidak suka dengan kehadiranku. Aku mencoba tidak menghiraukan
wajahnya. Aku sibuk membantu bibi merapikan sayuran di lemari es. Aku cukup
terampil dengan pekerjaan ini.
“Banyak
sekali yang Bibi beli, Bukankah kalian hanya berdua?”
“Bibi
lupa, nanti sebentar lagi ada tamu dari kota, istri ayah Sam yang kedua bersama
anak perempuannya, seusiamu Vin.”
“Kenapa
Sam tidak pernah bercerita tentang saudaranya yang lain Bi?”
Lantaran
kesal mendengar pertanyaanku. Sam segera meninggalkan tempat kami berdua. Dia
marah dan masuk ke kamarnya. Aku keheranan. Saling berpandangan dengan Bibi
Hasna.
“Kau
jangan terheran Vin, dari yang lalu Sam tidak senang dengan istri-istri ayahnya
yang lain termasuk dengan saudara tirinya.”
“Iya
Bibi, aku tahu masalah sahabatku itu.”
“Kau
mau kemana? jangan dekati Sam saat ini, pasti dia sangat marah. Kau dijadikan
bahan pelampiasannya nanti.”
“Sudah
biasa Bibi.”
Aku yang bersikeras untuk berbicara dengan
Sam. Ia pun keluar kamar dan mendorongku hingga aku terjerembab di lantai.
Wajahnya yang beringasan penuh amarah siap menamparku. Aku mulai meneteskan air
mata. Tangannya yang mengepal dan mukanya merah merona siap menghantamku. Aku
hanya berpasrah, semoga dengan begini dia tidak marah lagi pada Bibi Hasna.
Benar saja Sam menamparku dan menyuruhku enyah dari hadapannya.
“Apakah
Kau puas Sam, setelah menamparku? Jangan rusak wibawamu dengan melukai hati ibumu
sendiri. Aku tahu perasaanmu saat ini, aku minta maaf,” Aku berlalu sambil
menangis. Sam masih mematung di tempatnya.
“Vin,
apa yang dilakukan oleh Sam? Vin tunggu Bibi.”
Aku
pergi membawa sejuta kekecewaan. Aku marah pada siapa? Aku pergi dengan segenap
luka hatiku. Aku tidak menghiraukan siapapun yang melihatku saat itu. Hanya
memikirkan lukaku saja. Aku memang egois.
***
Sejak
kejadian itu, aku memutuskan untuk tinggal di kota. Aku menetap di kota bersama Ibu dan bapak. Selama aku di kota Sam
tidak pernah mengunjungiku. Jika aku bertanya pada Ibu. Katanya Sam sudah
meninggal akibat longsormya Bukit Lubuk Laut. Aku pun melupakannya.
Melanjutkan
ke perguruan tinggi itulah pilihanku. Kini aku sudah memasuki masa KOAS
kebetulan aku kuliah di bidang kedokteran umum. Usiaku tidak muda lagi.
Kejadian itu sekitar delapan tahun yang lalu. Aku sudah menguburnya jauh-jauh.
Banyak sahabat baruku.
Kegiatan
di perkotaan sangat beda dengan di desa. Pada waktu malam kami hanya makan malam, tapi di desa kami mengaji
bersama di surau tua. Rasanya aku ingin pulang ke desa. Ibu dan bapak tidak
mengijinkan. Walau bagaimanapun desa itu menyimpan sejuta kenangan. Aku ingin
kembali. Aku ingin menemui Sam.
“Ibu,
aku ingin kembali ke desa. Setelah aku diwisuda nanti, aku ingin bertemu
seseorang.”
“Sam?”
“Iya
Ibu, dia sahabatku. Bagai manapun, dia berulang kali menyelamatkanku, dan
mengantarku pada Ibu.”
“Jangan
kecewakan mendiang ayahmu Vin.”
“Semuda
ini aku telah banyak mengalami cobaan Bu. Pertama aku harus kehilangan sahabat
karibku. Berikutnya aku harus menerima kepergian bapak. Lukaku ini masih
membekas. Pertanyaanku belum ada yang terjawab, aku hanya bisa terisak di malam
yang sunyi, apakah ibu tidak ingin melihatku bahagia?”.
Sudah
dua tahun bapak pergi, kami ditinggalkan begitu saja. Apakah beliau bertemu
dengan Sam di surga. Tidakkah? Karena Sam masih hidup. Dia adalah putra sang
surya tidak mungkin pergi pasrah dengan cara yang konyol.
***
Hari
yang kunantikan kini telah tiba. Akhirnya aku diwisuda sebagai dokter muda. Terima
kasih Tuhan, aku bangga pada diriku. Aku
bekerja di salah satu rumah sakit kota. Gajiku lumayan untuk menghidupi diri.
Kebetulan bapak memiliki banyak uang tabungan dan sawah di desa. Mampu
menyekolahkan aku hingga lulus. Sekarang aku sudah bisa menjadi tulang punggung
keluargaku. Aku hidup hanya dengan Ibu. Sudah saatnya aku ingin mencari sosok
laki-laki dalam hidupku.
“Ibu,
apakah Bapak pernah berwasiat tentang kehidupanku?”
“Tidak
nak, bapakmu hanya berpesan agar Kau menjadi seorang dokter. Itu saja
permintaannya sebelum meninggal.”
“Aku
akan ke desa Bu, mencari Sam.”
Dengan
hati yang ragu aku langkahkan kaki menuju desa. Perjalanannya cukup lama.
Setelah aku turun dari kereta aku harus menggunakan jasa Bus dan dokar. Aku
harus kuat menahan terik matahari.
Alam
pedesaan yang sejuk mulai tercium. Masih seperti dulu. Untuk menempuh desaku
harus melewati desa lain dahulu. Tibanya di perbatasan desa aku minta kusir
untuk menghentikan kaki kudanya. Aku turun dari dokar. Mengucapkan salam untuk
tanah kecilku ini. Pijakan pertama membawa kedamaian yang tiada tara. Inikah
alamku yang dulu? Sangat sejuk seperti embun. Sangat harum seperti melati.
Sangat indah seperti taman seribu bunga. Aku rauk tanah di genggaman tangan
halus. Aku resapi sertiap sentuhan tanah itu. Akhirnya aku kembali bukan? Aku
telah kembali untukmu. Jangan biarkan aku tertimpa nistaku lagi. Semoga orang
yang dikehendaki ada di sini menungguku. Selamat Pagi Lubuk Laut desa kecilku
yang permai.
“Mari
Nona, naik lagi rumah nonya Hasna masih jauh.”
Aku
kembali naik ke dokar. Aku duduk kembali. Pikiranku sudah berkaca-kaca. Ingin
segera jumpa. Mudah-mudahan dia ada. Hidup untukku.
Rumah
yang terlihat usang. Pintunya terbuka lebar. Terlihat banyak sekali wanita
seusia ibuku mondar mandir. Akan ada acara apa di rumah Sam?
“Permisi
Ibu, apakah Bibi Hasna ada di rumah?”
“Ada,
sebentar saya panggil kan untukmu.”
Aku
masih tidak percaya. Aku berada di rumah seseorang yang selalu hadir di mimpiku
itu.
“Kakak,
ada yang datang mencarimu. Dia seorang dokter dari kota. Gadis cantik
mencarimu. Apakah di hutan ini ada tempat pemandian bidadari?”
Wanita
yang kutunggu akhirnya muncul juga. wajahnya terlihat berseri tanpa duka. Jika
Sam pergi tidak mungkin bibi Hasna sehat dan cantik seperti itu.
“Vina!”
“Bibi
Hasna. Aku sangat merindukanmu.”
“Lama
tidak menemui Bibi, Kau tahu Bibi seperti tak bernyawa tanpamu.”
“Bibi
bisa mengenalku dengan baik, tidak adakah yang berubah, setelah delapan tahun
masa remajaku?”
“Tidak
sayang, Kau cantik dengan lesung pipitmu itu.”
“Terima
kasih Bibi.”
Rencana
besarku telah terpenuhi. Namun, dia tidak muncul dari biliknya. Banyak gadis
dan anak-anak kecil yang berlarian kesana kemari. Apakah Sam telah menikah?
Kenapa tidak mengundangku? Sebegitu teganya dia melupakanku?
Aku
berangkat mendekati lemari. Dulu aku pernah tersantuk pinggiran lemari ini saat
bermain dengan Sam. Bayangan masa kecil yang menggembirakan itu sangat nyata.
“Bibi
di mana Sam? Aku ke sini mencarinya. Sudah sewindu aku berpisah tanpa kabar.
Rasanya rindu sekali. Apakah dia menjadi prajurit seperti ayahnya? Seorang polisikah?
Pengusaha? Dokter?”
“Kau
yakin Vin dia masih hidup?”
“Iya
Bibi, aku sangat yakin.”
“Sam
masih hidup, dan terus menunggumu Vin. Dia seorang dokter juga, anak laki-laki
yang pintar. Berkat kepintarannya itu saat ini dia sedang bersekolah spesialis
organ dalam di kota. Semua saudara tirinya sudah menikah kecuali dia dan
adiknya, Dinar. Setiap malam dalam igaunya namamu yang tersebut. Tiada lain. Bukan
Bibi atau Ayahnya. Dia tidak akan menikah tanpa kehadiranmu Vin. Kaulah sahabat
satu-satunya yang dia sayangi. Bibi khawatir jika Kau tidak bertemu dengannya.
Kapan dia akan menikah?”
Bibi
Hasna bercerita seolah-olah Sam akan segera bertunangan dengan kekasihnya. Hati
sangat kecewa mendengar tutur bibi Hasna. Aku pamit untuk melihat rumahku di
laut. Kehampaan itu aku bawa pergi. Mungkin aku tidak lupa jalan dari rumah Sam
ke rumahku. Mata ini terus berbicara dengan tangisnya. Aku sadar, benar kata
bapak. Jangan mencari Sam lagi. Kata hatiku salah sekarang. Langkahku begitu
cepat. Beberapa menit tak terasa aku berjalan akhirnya tiba juga.
Rumah
ini tak sehangat dulu lagi, saat ada bapak dan Ibu. Kupandangi semua sudut
terlihat tawa bapak menghantuiku. Aku mulai mengenangnya satu persatu. Aku
tidur di kamar lamaku. Mbok Mirna sangat menjaga kamarku ini. semuanya terawat
baik. Aku Buka lemari lusuh itu. Ternyata masih ada sarung Sam yang dipakai
ketika salat bersama dulu. Aku melirik jendela. Rasanya ada Sam sedang
memandangiku.
“Sam?”
Itu
hanya khayalanmu saja Vina. Tidak ada Sam di sana. Bukan tambah bahagia aku
mengunjungi desa kecilku ini. Rasanya luka dalam hatiku bertambah dalam. Semua
yang kupandang menyimpan banyak kenangan bersama Sam maupun bapak. Tidak terasa
aku tidur dalam sedihku bersimpuh di pojok lemari.
***
Berdecak
langkah kakiku menginjak tanah dan rumput yang masih basah lantaran hujan tadi.
Wajahku merah merona keterpa angin pagi. Badanku sedkit kedinginan. Mantelku
ini masih bisa dihembus angin. Setiap orang yang berpapasan, selalu menatapku tersenyum.
Aku sangat cantikkah? Berlian hutan batas akan pergi meniggalkannya lagi.
Aku
masih rindu pada laut. Aku sempatkan sebelum pulang untuk mengunjungi laut. Sesekali
melirik jam tanganku. Sore ini memang indah. Aku teringat saat bapak datang
dengan kapalnya, membawa banyak ikan. Aku menjemputnya berlarian. Batu yang
sedang aku duduki, penuh kenangan saat bersama Sam. Aku memanggang ikan dan
kepiting di atas batu ini. Tetapi semuanya berubah. Aku tidak akan menunggunya
seperti orang gila. Bila dia memang sahabatku yang baik, dia akan datang saat
aku memikirkannya.
Lima
detik lagi matahari akan tenggelam. Aku takut melihatnya. Aku pejamkan mataku
agar aku tidak bisa melihatnya tenggelam. Aku ingat pesan Sam. Jika aku terus
memangdang surya tenggelam hidupku akan gelap selamanya. Karena awan yang
terang akan redup membunuh semua warna yang terlihat di langit.
Aku
belum puas memandang laut yang semakin gelap. Besok aku akan kembali. Melakukan
hal yang sama. Menunggumu dan memikirkanmu. Andai saja Tuhan memberiku satu
kesempatan untuk bertemu dengannya. Aku ingin sekali mencurahkan semua
gundahku. Bukankah dia memiliki sejuta solusi untuk semua masalah hidupku?
Hari
mulai larut aku tertegun di bibir pantai. Menyaksikan surya tenggelam. Sambil
terus bersenandung.
Rasanya
aku berada di negeri yang entah berantah. Dari kejauhan ada sesorang yang
mendekat. Ternyata aku tidak sendiri. Ada seorang laki-laki berjalan kemudian
mematung menghadap laut sore.
“Apa
yang Kau lakukan di sini?” Tanyanya menyelidik.
“Memandang
surya yang akan tenggelam. Kau?”
“Aku
juga, karena surya yang tenggelam itu menyimpan seribu misteri.”
“Mengapa
demikian? Kau takut kah?”
“Tidak,
mereka melakukan ini untuk terbit kembali di waktu pagi, bukan?”
“Ternyata
hidupmu sudah berwarna. Sudah sanggup melihat rona kehidupan.”
“Kau
benar, aku masih ingat kata-katamu.”
“Siapa
yang Kau sebut saat Kau melamun?”
“Sahabatku
yang tercinta. Vina namanya. Aku banyak melakukan kesalahan di masa lalu. Aku
mencacinya. Memukulnya. Setiap ucapanku menyiksanya. Hingga pada satu hari dia
pergi karenaku. Sampai saat ini, dia belum kembali. Aku yakin dia terus
menungguku datang padanya. Jika surya yang tenggelam itu membawaku padanya aku
sangat bahagia.”
“Jika
dia ada di sini, apa yang akan Kau lakukan?”
“Aku
akan mengajaknya pulang ke rumahku.”
“Kau
tahu, dia selalu menunggumu. Mencarimu. Memikirkan kenangan yang lalu. Dia
tidak menghiraukan sakit hatinya. Berulang kali dia menangis karena dirimu. Kau
harus menebusnya dengan kebahagiaan.”
“Tentu
saja, semuanya sudah tiba, saatnya aku menjemputnya pulang.”
“Sam?”
“Vina.
Apa yang Kau pikirkan lagi, ayo sandarkan kepalamu di pundakku. Bukankah Kau
sangat merindukan aku?”
“Aku
tidak percaya ini Sam. Pertemuan yang tidak di inginkan sebelumnya.”
“Andai
Kau tahu Vina. Aku selalu menunggumu di sini. Tidak lekang dari benakku.
Sekarang Kau lebih cantik dari yang ku kenal dulu.”
“Terima
kasih atas penantianmu. Aku ingin kita bersahabat selamanya. Apakah Kau akan
sanggup berjanji untukku Sam.”
“Kenapa
tidak? Aku berjanji demi cintaku.”
Jingga
menenggelamkan kebahagiaan antara dua anak Adam. Tuhan telah membuat alur yang
indah dalam hidupku. Aku bertemu kembali dengan cintaku. Sungguh, perpisahan
sementara ini sangat membunuhku. Aku berpisah dengannya di desa ini. Aku
bertemu lagi dengannya di desa ini juga. Masih di tempat yang sama. Sungguh
desa yang benar-benar permai. Terima kasih Tuhan, semua rahasiamu begitu nyata.
Apalagi yang akan aku lakukan kecuali menjaga cintanya yang dia berikan padaku
dan berzikir padamu. Kebahagiaan di akhir ini memBuat aku semakin cinta padaMu,
Tuhan semesta alam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar