Endless
Love
Oleh
Puji Lestari Aji
Berkendara dengan motor matic
kesayanganku mengitari penghuni real estate.
Mengantarkanku pada ujung kenaasan.
“ wah, enak ya, jalan-jalan sore.
Ternyata perumahan ini lebar dan indah ”.
Ketika asyik bergeremutu, motorku di
tabrak oleh mobil mewah Sport milik penghuni real estate. Aku tidak tersadarkan
diri. Ketika siuman aku terlentang di rumah sakit. Kakiku terasa mati. Ternyata
batangan motor itu menimpa kakiku. Tiada
luka yang serius dari kecelakaan itu. Namu, menuntutku duduk dikursi roda untuk
beberapa minggu. Sebagai anak yang anti dengan rumah sakit,aku memutuskan
untuk rawat jalan di rumah. Setiap hari sendiri tanpa canda, membuat bad mood.
Pagi ini sang surya terlihat enggan
menunjukkan sinarnya. Aku duduk di kursi roda di atas balkon. Mata memandang
tanpa arah. Air mata menetes tanpa bicara. Harinya indah tapi pembawaanku tak
bahagia. Sesekali aku pejamkan mata ketika angin menampar wajah dan rambutku
berkelebat.
“ Winna!”.
Suara itu mengejutkan aku. Dengan
gugup aku sedikit mengusap rambut panjang lurus menyebar diwajahku. Ternyata
papah memanggilku. Tak sempat atau tidak ingin menjawab panggilan papah, aku
terdiam lagi. Terdengar suara langkah papah yang menapaki tangga kemudian
menyongsong kekamarku.
“ sayang, papah panggil kok diam
saja ”.
Aku hanya memandang papah setengah
hati. Sambil merapikan selimut yang menutupi kakiku. Papah masih sabar menunggu
jawaban dariku.
“ ada teman-teman kamu tuh di bawah.
Mereka datang ramai-ramai “.
“ pah, suruh mereka ke atas saja,
aku bosan di dalam rumah “.
Papah hanya mengangguk dan memutar
tubuhnya untuk kembali ke bawah. Beberapa saat teman-teman kelasku menemuiku.
Mereka terdengar berderup dan penuh kebimbangan.
“ Winna”, teriak satu dari mereka.
Aku memutar kutsi roda untuk melihat kedatangan mereka. “ hai,” jawabku
singkat. Benar saja mereka sangat ramai. Tapi aku membalikkan kursi roda untuk
tidak melihat mereka beriringan dengan helaan napas yang panjang.
“ Winna, kita-kita kangen semua nih,
sama elo”, kata Nisa teman sebangkuku.
Mereka memelukku dari belakang.
Mereka memuji kecantikanku. Kangen dengan puisiku yang uptodate di mading. Aku
baru terisak.
“ Nisa, hari minggu besok aku akan
pergi ke Beijing, operasi kakiku ini.”
“ semua pasti mendoakan elo Na, kami
sayang elo”.
Setelah cukup lama berbincang.
Mereka pamit untuk pulang. kedatangan mereka membuatku sedikit tenang dan
terhibur. Kini aku harus terpuruk lagi dalam kelamnya sepi. “Tuhan tolong aku”.
Di lain atap, suasana, dan keluarga
terlihat sedang sibuk berunding memecahkan masalah.
“ kenapa Giberline, papi rasa ini
adalah masalah yang sangat besar untuk papi”.
“ pih, aku nggak sengaja nabrak
cewek itu, lagian dia nyupirnya sambil ngelamun”, sergahnya dengan singkat dan
jutek.
“ Geib, kamu tahu, gadis itu pasti
kehilangan masa depannya. Mami nggak mau kamu, kita lari dari tanggung jawab”.
“ terus apa yang kita lakukan mih,
pih”.
“ sekarang ayo kita kerumahnya.
Nggak ada yang tinggal di rumah. Semuanya ikut.”
Akhirnya keluarga Pak Nasution
mengunjungi rumah gadis yang menjadi tanggung jawabnya. Sesampainya dirumah
bernomor 09 itu, membunyikan klakson. Dengan otomatis semuanya telah tersensor
oleh alat pelacak di atas gerbang rumah kami. Pak Budi membukakan gerbangnya
dengan menyentuh beberapa pasword. Keluarga Nasution, kami sambut dengan baik.
Baik mamah dan papah.
“ terimakasih atas kesempatan yang
bapak berikan kepada kami”, pak Nasution membuka pembicaraannya.
“ sama-sama pak”, sahut ayahku.
Pada saat itu aku sedang berada di
taman bersama bik Siti. Untuk melepaskan kehangatan yang akan terlupakan
beberapa bulan selama berada di Beijing.
“ apa jalan keluar masalah diantara
anak kita pak Hendrawan? Saya tidak bisa membiarkan Winna terpuruk akibat
anakku sendiri. Saya harus memikirkan masa depannya.”
“ bagaimana kalau sudah besar nanti,
setelah mereka dewasa kita jodohkan saja,” kata ibunya Giberline.
“ waduh, bapak saya juga tidak
mengerti hal ini. biarkan waktu saja yang memberikan jawabannya”.
“ saya akan membantu bapak untuk
pengobatan Winna, itu adalah tanggung jawab kami, walaupun saya menyadari bapak
lebih dari mampu melakukannya.”
“ terimalah bantuan dari saya ya ibu
Hendrawan, kami akan membantu doa dan usahanya juga.”
Mendengar percakapan kedua belah
pihak korban dan pelaku. Giberline pergi meninggalkan ruangan mega mendung itu
dengan kesal. Sikapnya sedikit tidak sopan. Ia berlari kecil menuju taman.
Ternyata ibunya mengejar di belakangnya.
“ Geib, apa yang kamu lakukan, sikap
itu bisa menyinggung keluarga pak Hendrawan, kamu tahu beliau itu orang yang
paling baik dan bijak yang pernah mami temui.”
“ iya mih, aku tahu. Tapi yang bener
saja aku mau dijodohkan dengan gadis yang cacat. Apa kata teman-temanku nanti.
Mami aku sekolah jauh-jauh sekolah kedokteran di Austria, kembali ke Indonesia
menikah dengan orang cacat, mih, pikirkan masa depanku juga.”
“ kamu keterlaluan Geib, kamu yang
menyebabkan dia cacat, kamu harus bertanggung jawab”.
“ aku tetap nggak mau kalau menikahi
gadis itu, masih ada cara lain dari dari menikahinya”.
Aku yang sedari tadi mendengarkan
percakapan anak dan ibunya itu membuat hatiku teriris. Aku membungkam mulutku
dengan penuh kemarahan. Aku tidak bisa meredakannya saat ini.
“ cukup!” mereka menoleh secara
serentak dan memberhentikan pembicaraannya.
“jangan caci
maki aku seperti itu, aku juga belum tentu mau berdampingan denganmu, memang
aku gadis yang cacat dan tidak memiliki masa depan. Karena siapa ini? kamu
jangan memaki aku dengan kata-katamu yang kotor itu. Tante, kalau punya anak
tolong didik dengan baik, beritahu padanya sopan santun terhadap orang lain
yang sedang terkena musibah. Ingat tante aku tidak ingin melihat anak tante
lagi, apalagi berdampingan apalah sudiku. Maaf tante aku permisi dulu.”
Aku kayuh kedua roda yang cukup
menopang tubuhku dengan air mata yang tergerai. Hinaan itu membuatku terasa
menjadi seorang yang sangat menjijikan di dunia. Dengan penuh keamarahanku aku
kembali kerumah. Tanganku lecet tidak terasa saat mengayuh roda kursiku.
Sungguh kau anak yang tidak memilki perasaan. Jangan pernah berharap
mendapatkan kasih sayang setelah melukai wanita dengan penuh kekejian. Mereka
masih berdiri termangu mendengar kata-kataku.
***
Setelah beberapa
tahun kemudian.
“ Dok, sudah siap ruang operasinya.
Sudah bisa dimulai dari sekarang”.
“ terima kasih sus”, jawabku.
Gadis cantik ala indi-jerman,
berbadan tinggi dan langsing dengan sentuhan kulit putih langsat, mancung, mata
yang besar berbinar, bibir yang tipis dan terbelah, rambut panjang lurus
tergerai, dibumbui sedikit lesung pipit di dagunya. Membuat semua orang
terpesona. Siapa sangka dulunya ia duduk dikursi roda selama berbulan-bulan.
Seseorang yang terhina karena cacat
sekarang menjadi dokter spesialis organ dalam sekaligus bedah. Beberapa jam kemudian
aku keluar dari ruangan operasi. Syukur, operasi berjalan dengan lancar.
Sekarang aku akan menandatanagni surat persetujuan. Sebentar lagi aku akan
pindah ke dirjen kesehatan kementerian kesehatan RI. Undangan itu sangat aku
hargai, saatnya benar-benar mengabdikan diri pada tanahku.
Aku tidak pernah mengingat apapun
yang menimpaku sepuluh tahun yang lalu. Saat aku berusia 16 tahun. Kejadian itu memotivasi keberhasilanku
sekarang. Apapun aku hadapi, karena aku sanggup. Setelah beberapa tahun aku
sekolah kedokteran di Beijing, China, aku kembali lagi ke sini. Wajah
orang-orang yang dulunya ku kenal sekarang berubah, ada yang semakin tua,
tumbuh besar, dan ada juga sih yang masih biasa-biasa saja.
Gedung perkantoran Negara sangat
lebar dan luas. Terdapat papan yang besar mengarah kekanan disebelah gedung
keuangan negara.
“ selamat pagi ibu”.
“ pagi juga ibu Winna, apa kabar?”
“ baik ibu, alhamdulillah, saya
sangat tersanjung bisa bekerja di kementerian ini.”
“ iya ibu, tingkatkan lagi
prestasinya siapa tahu bisa menggantikan ibu Sri pada waktunya”.
“ amin, semoga bu. Masih belajar”.
Seminggu setelah bekerja ada acara
pengukuhan sekertaris jenderal kesehatan baru. Sekaligus dengan departemen yang
lain. Ketika namaku terpanggil hatiku sangat berdenyut. Rata-rata dari mereka
sudah mempunyai pasangan dan anak masing-masing. Pada saat itu, aku didampingi
papah. Bukan suami, karena aku belum ingin menikah. Wajah papah sangat berseri
saat aku kembali menolehnya. Kebanggaan tersurat dalam kedip matanya. Dia
adalah sang inspirator dan motivator hidupku. Aku bisa melewati masa sulit
bersama sakitku karena papah. Pah, aku sayang papah. Keberhasilanku adalah
balasan yang sangat tak berarti bagi kasihnya padaku.
Dimulai dari hari itu aku terus
bekerja dengan keras. Hingga ada sesuatu hal yang mengusik hatiku. Mungkin
sekrang aku telah bertambah dewasa. Ada seorang laki-laki yang sepertinya
memperhatikan setiap gerak gerikku. Sepertinya laki-laki itu sangat familiar di
mata orang. Aku penasaran siapakah dia?. Aku sempat menanyakan pada teman
kantorku. Mereka mengenalnya
seorang dokter ahli gizi yang baik hati. Itu saja yang aku tanyakan. Dari dulu
aku memang tidak terlalu kepo terhadap sesuatu. Dilain kesempatan aku juga
pernah bertatap muka namun tidak mengobrol selayaknya. Aku pandangi pasat
matanya. Sepertinya dia tidak asing lagi bagiku. Aku tambah penasaran.
“ibu Sri, maaf mengganggu”.
“iya, ada apa bu Winna?”
“dokter yang di sebelah sana itu siapa
ya bu?”
“kenapa buk Winna, dia dokter Giberline Nasution, ahli
gizi dan dokter anak.”
“siapa buk namanya”
“Giberline Nasution”
Betapa terkejutnya aku ketika
mendengarkan kata-kata yang diucapkan oleh buk Sri barusan. Beliau memang
atasanku namun aku sangat dekat. Sering diwaktu senggang aku menginap di
rumahnya.
Aku mulai memutar memoriku yang
beberapa tahun lalu. Bukankah dia yang menyebabkan aku cacat dan menghinaku
gara-gara orang tuanya akan menjodohkan dia denganku. Lihat saja, suatu saat pasti
aku akan membalas semua yang dia lakukan padaku waktu itu.
***
Hari ini cuaca Jakarta sangat
dingin, sepertinya akan turun hujan. Aku masih sibuk dengan pekerjaanku yang
sedikit menumpuk. Menyusun laporan untuk rapat lusa. Pintu ruanganku berdering.
“silahkan masuk,” jawabku pada
ketukan itu, sambil masih menyentang perlengkapan labor yang akan dikirim ke
rumah saakit.
“asalamualaikum”.
“walaikum salam, silahkan duduk
sebentar saya masih sedikit sibuk, saya sangat minta maaf.” Untuk beberapa
detik aku belum menatap wajahnya. Ketika dia mulai berbicara aku sedikit
penasaran siapa laki-laki itu.
“iya, dok. Silahkan saya tunggu.”
Hatiku tersentak keras, saat
memandang laki-laki yang dari tadi memperhatikanku dan pekerjaanku ini. aku
bingung apa yang harus aku lakukan. Aku memilih duduk dan sedikit bertanya ada
apa dia ke ruanganku.
“maaf dok, ada apa?”
“sebelumnya saya minta maaf dulu
pada dokter Winna, mengganggu pekerjaannya.”
“it’s okey. Silahkan. Maaf dok, dari
mana dokter tahu nama saya, dan siapa nama dokter?” aku sedikit kebingungan.
“saya Giberline Nasution, ahli gizi
dan dokter anak.”
Saat ini aku tidaak bisa menahan apa
yang ada di daalam haatiku. “sepertinya tidak asing lagi nama itu di telinga
saya, anda yang dulu nabrak saya kan?, sampai kaki saya patah dan anda juga
yang menghina saya, pada saat akan”, omonganku terputus aku malas harus
membicarakannya lagi.
“iya dokter, benar sekali saya
datang kemari ingin meminta maaf atas kejadian itu. Sebentar lagi kita akan
melaksanakan puasa dibulan Ramadhan”.
Aku bingung harus jawab apa, hati
kecilku berkata tidak. Namun, aku seorang dokter dan seorang muslim. Akhirnya
aku mencoba mengikhlaskan untuk saat ini.
“iya, dokter saya maafkan anda”.
“terimakasih dokter Winna, saya tahu
untuk memaafkan orang yang selalu kita kenang buruk itu sulit dok”.
“iya, anda betul sekali dokter
Giberline. Anda lebih paham perasaan saya,” jawabku tenang.
Dia tersenyum, aku membalasnya tapi
kali ini bukan senyumanku yang manis untuk pasienku tapi senyuman yang begitu
terpaksa.
“kalau dokter Winna berkenan nanti
malam saya akan mengajak dokter dinner, agar kita bisa melupakan masa lalu itu,
daan kita rajut kembali persahabatan kita.”
“oh, boleh dokter, nanti malam saya
akan temui dokter. Di mana tempatnya?”
“tidak usah repot bawa kendaraaan
sendiri, saya akan jemput dokter nanti.”
“terimakasih, masih ingat jalan ke
rumah saya?”
“saya ingat selalu dok,”
Akhirnya dia pamitan dari ruanganku.
Aku masih merasa aneh dan kembali dengan pekerjaanku. Aku masih bertanya-tanya
kenapa aku menerima ajakannya. Oh my god this is a trouble for me. Nanti malam
aku akan pura-pura sakit saja agar dia tidak mengajakku pergi dinner.
Keterlaluan sekali jika dia akan membuatku sengsara.
“Winna, kamu ada janji sama temen?”
Mama bertanya, aku terkejut. “mama
kok tahu sih?”
“iyalah mama tahu, kamukan anak mama
jadi mama tahu semua tentang kamu”
“mah, yang ngajak aku dinner malam
ini anaknya pak Nasution yang dulu mencelaku”
“wah bagus, berarti kamu udah maafin
dia dong”
“yeh, mama nggak marah gitu sama
aku,?”
“kenapa mama harus marah, kita harus
menjadi pemaaf sayang, kalau Winna udah mau di ajak jalan berarti udah maafkan
kesalahannya kan?”
“nggak juga sih mah, aku masih marah
sama dia”
“udah Win, marahnya jangan
berkelanjutan nanti malah jadi cinta lo!”
“what?, mama jangan nyupahin Winna
dong, mama kan tau Winna suka sama siapa?”
“ya mama tau, namanya Ricko sekarang
masih di Berlin USA kan?”
Aku membalas dengan senyum manja
pada mama. Aku bersiap-siap. Aku menebalkan bulu mataku, memberikan sedikit
warna pada bibirku dan menambahkan sedikit sedo di pipiku. Aku memuji diriku
dulu sebelum orang lain yang memujinya. Benar kata orang aku begitu cantik dan
menawan. Aku tersenyum di kaca hiasku.
“it’s perfect. You are beautiful
Winna”
Suara mama memanggil namaku. Dari
lantai dasar.
“Winna, Giberline sudah jemput.”
“biarkan tante, aku tunggu, om
Hendrawan ke mana tante?”
“masih di Bandung, kenapa kamu
kangen?”
“iya tante, udah berapa bulan ini
aku jarang main ke sini?”
Giberline memang akrab dengan
keluargaku apalagi mama dan papa, selama aku masih di Beijing, Giberline anak
lelaki mama dan papa. Aku juga tidak mengerti apa yang mereka lakukan. Waktu
aku kembali dari Beijing Om Nasution juga menjemputku di airport. Karena itulah
aku mau menuruti permintaan Giberline.
“ma, Winna pergi dulu ya,” aku
mencium mamaku.
“iya, sayang hati-hati, jangan
pulang terlalu malam ya Geib.”
“iya mah, dah”
“iya tante, asalamualaikum”
“walaikumsalam, dadah!”
Aku semobil dengan orang yang
menghinaku, aku tidak mau berbicara. Aku hanya diam menatap jalan yang ramai.
Aku semakin malu Giberline terus memandangiku. Sesekali tertangkap ketika aku
kembali melihatnya.
“aku nggak konsen dok,”
“kenapa?”
“nggak ada”
“ jangan menabrak orang lagi, cukup
aku saja”.
“ini bukan mobil yang menabrakmu
dulu.”
Aku menjadi bad mod, mengungkit
tabrak menabrak dulu. aku cemberut. Sepertinya dia mulai tertawa kecil. Aku
mengalihkan pandangan keluar jendela mobil. Hanya butuh beberapa menit saja aku
sudah sampai tempat yang dituju. Tempatnya indah sekali, ada yang main orkestra
juga. Bagus sekali. Aku tersenyum bahagia.
“dokter tau dari mana kalau aku
senang budaya China?”
“ya, apa sih yang aku nggak tahu
dari dokter”
“oh, jadi kepo tingkat dewa ya?”
“dokter cantik sekali malam ini,
senyuman itu sama nggak untuk pasien?”
“sama, ya. sama aja. Senyumanku
nggak ada yang berbeda, beginilah untuk semua orang”
Kami mulai makan, aku dihidangkan
makanan yang sangat enak dan lezat, tapi aku tidak memakannya untuk beberapa
tahun lalu.
“dok, aku nggak makan makanan ini semua?”
“kenapa dok?”
“aku nggak berani, aku takut”.
“kenapa, makan aja dok. Makanan di
sini udah aku jamin. Nggak ada yang berbahaya”.
“aku minum aja, dok”
“makan ya, aku suapin, ayo buka
mulutnya, hem?”
Aku makan dengan hati-hati. Aku
telan dengan hati-hati. Aku rasai dengan hati-hati. Baru beberapa suap, aku
menolaknya.
“cukup dok, aku mual, aku permisi
kebelakang sebentar”
Wajah Giberline berubah cemas, dia
beranjak mengikutiku dari belakang. Dia menunggu di luar lorong wc.
“dok, kita pulang saja. Aku nggak
enak badan”, aku memegangi kepalaku.
“iya, iya dok. Masih kuat?”
Aku mengangguk, aku tidak mau
dituntun. Aku berjalan sendiri ke arah mobil dengan cepat. Napasku sesak, aku
memegangi dadaku. Aku menangis terisak-isak.
“dok, dokter, kita ke rumah sakit
ya?”
“aku mau pulang saja”
“ayo dok penggang tanganku”
Aku memegang tangannya. Aku remas,
karena aku tidak bisa bernapas. Aku menangis, meronta. Giberline menyetir
dengan satu tangan. Aku tidak mau diantar kerumah sakit. Giberline berhenti di
pinggir jalan, dia mencoba menenangkan aku. Aku melemas, tubuhku diambang alam
kesadaranku.
“dokter, aku mau pulang saja”.
“iya, dok. Ayo kita pulang”
Kami menuju rumah dengan kecepatan
yang tinggi. Aku sempat tertidur di dalam mobil. Betapa terkejutnya mama
melihat aku digendong tak berdaya oleh seorang laki-laki.
“tante, dimana kamarnya?”
“anak tante kenapa Geib, kamu apakan
dia?”
“nanti aku jelaskan tante”.
Aku dibaringkan di ranjang. Barulah
Giberline mengelapi keringatnya dan menceritakan kejadian itu pada mama. Mama
mulai memahami sebelumnya mama kecewa pada Giberline.
“tante maafkan Giberline, mohon
tante,” dia meminta sambil berlutut dihadapan mama.
“iya, sayang. Pulanglah sudah
malam”. Tante memahami apa yang terjadi.
“baiklah tante aku pulang, kalau ada
apa-apa telpon aku tante”.
“iya, sayang”, mama membelai pipinya
yang basah.
“dok, anda mau pulang?”
“iya, dokter Winna, aku pulang
dulu”.
“untuk kali ini anda akan pergi lagi
setelah membuatku sengsara, hem?”
“ya, aku akan menjaga dokter kalau
tante mengijinkan”
“bolehkan mah?”
“iya, sayang. Nanti mama ambilkan
selimut.”
Malam ini aku akan ditemani oleh Giberline, dia akan
tidur di kamarku. Dia tidur di sofa panjang. Sebelum aku tidur, dia masih di
sampingku memegangi tanganku. Aku merasakan yang aneh selama dia ada
disampingku. Setelah aku terlelap dia tidur di sofa. Kasihan. Rasain lo, anak
sombong. Sedang enak-enaknya tidur ditengah malam aku membangunkannya.
“dok, dok. Ambilkan saya air minum”.
Dia beranjak dari sofa dan
mengambilkanku segelas air putih. “ini dok, minumlah”.
Selepas itu dia
tidak tidur. Dia menyuruhku untuk tidur duluan. Aku masih memandangi wajahnya,
mataku sayup-sayup hendak tertidur. Belaian tangannya membuatku nyaman. Dia
tersenyum, tidak ada sedikit ngantuk diwajahnya. Lama kelamaan aku berbalik
badan ke arahnya. Aku raba wajahnya. Aku melihat dia memejamkan matanya. Aku
terlelap sekarang.
“pagi sayang,” mama mengejutkan
dipagi buta.
“pagi tante,”
“Geib, kenapa tidur sambil duduk
begitu? apa tidak pegal?”
“nggak tante, aku belum solat
subuh”.
“solatlah dulu sayang,” mama
menghampiriku yang masih terpejam.
“morning honey, gimana udah
mendingan?”
“iya mah. Aku sudah mendingan,” aku
memeluk mama.
“papamu besok datang sayang, dan
bakal ada pesta yang besar. Saudaramu datang semua dari Surabaya dan Medan”.
“iya mah, tapi pesta apa?”
Mama mulai sibuk menyiapkan apa yang
diperlukan besok. Mereka sepertinya merencanakan dibelakangku. Ah aneh. Ada apa
ya? aku biasa-biasa saja. Giberline juga sibuk, katanya besok ada acara yang
cukup besar di keluarganya. Tante Farida juga sibuk. Aku seharian ini
menelponnya tapi tidak pernah diangkat. Aku hari ini tidak boleh bekerja, tidak
lama dari itu papa datang dari Bandung bersama keluargaku. Rumah terasa ramai
sekali. Seperti akan ada pesta pernikahan saja. Tapi siapa yang akan menikah di
rumah, setahuku anak mama dan papa hanya aku seorang.
“papa, kok ramai sekali rumah,
banyak saudara dari mana-mana?”
“iya sayang besok ada acara sakral”
“for whom papa?”
“for my angel.”
“who is she?”
Aku bertanya pada semua keluargaku,tapi
mereka tidak mau menjawab pertanyaanku. Malam ini kata mama aku akan mandi
kembang. Aku dimandikan bagaikan putri dari khayangan. Aku dibaluri lulur India
untuk pernikahan. Alisku dicukur. Keluargaku dari India mulai berdatangan
membawakan baju Sari untuk pernikahan. Baju itu sangat cocok untukku. Papa
sibuk mengirimkan baju pada seseorang. Aku tidak tahu siapa yang dituju itu?
Apakah benar aku akan menikah?
“subhanallah you are very beatuful.
When you wearing this Sari.”
“thanks Amma,”
Malam ini juga aku di dandani ala
India, dipingit didalam kamar bertabur bunga dan diberi makanan khidir serta
ladoo. Aku menurut, apa yang akan dilakukan oleh keluargaku. Terserah mereka.
aku tidak bisa tidur malam ini, aku berdoa pada Allah agar selalu diberi
perlindungan.
Sinar surya menerpa wajahku. Angin
yang akan memanas membangunkanku. Selamat pagi duniaku. Aku tersadar hari ini
aku akan menikah dengan jodohku. Aku tidak tahu. Semoga itu Ricko. Karena
beberapa hari ini mama bercerita tentang Ricko. Aku dimandikan kembali oleh
Amma (tante) yang dari India. Mereka sangat setuju bila aku akan menikah. Aku
dipakaikan baju kebaya berwarna putih besih dengan jilbab yang indah. Aku
diarak menuju masjid Istiqlal. Aku belum ditemukan dengan pasanganku. Papa yang
terima pernikahannya, gaya itu ditiru dari India. Aku duduk di dalalm ruangan
yang telah ditentukan. Setelah ijab qabul. Aku diarak lagi menuju gedung pesta
yang sangat megah dan indah. Ada acara temu penganten dan lain-lain. Aku duduk
di pelaminan yang megah. Aku terkejut setengah pingsan saat melihat suamiku
adalah Giberline Nasution. Kami berfoto bersama. Aku sering menitikkan air
mata. Aku takut pernikahanku tidak bahagia bersamanya. Banyak sekali sahabatku
yang datang baik dalam kabinet dan sahabatku yang lainnya. Teman papa banyak
yang hadir memberikan restu. Pesta itu berlangsung dua hari di rumhku. Pesta
ngunduh mantu di rumah Giberline juga dua hari.
Selama satu minggu aku dibalut baju
indah dan berwarna. Pada hari terakhir dari rangkai pestaku. Kami diantarkan
kerumah baru kami di Pulo Gadung. Mereka semua pulang ke rumah masing-masing.
Mama menangis melepas anak semata wayangnya. Sebenarnya aku tidak pernah
memiliki rencana untuk tinggal jauh dari mama.
“aku sangat terkejut dok, sebelumnya
kalau anda yang akan menjadi suami saya”.
“orang tua kita yang mengatur
semuanya, saat aku kembali dari rumahmu malam itu. Aku terkejut mami bilang
kalau aku akan menikah. Semua undangan sudah tersebar.”
“dokter nggak bohongkan sama aku?”
“nggak dok, untuk apa aku
berbohong?”
Aku meneteskan air mataku. Aku
menangis sambil menunduk. Sambil merenungi bagaimana nasib cintaku nanti.
“dokter aku tidak bisa mencintai
seseorang dengan begitu cepat. Maafkan aku jika nanti ada salah tingkah dan
kata, dan aku belum sanggup menjadi istri yang sempurna. Tapi jika ini jalannya
aku akan mencoba untuk menjadi istri yang baik.”
“iya, dokter Winna, aku akan
menunggunya, karena sekarang dan nanti aku tetap mencintai dokter Winna,”
“terimakasih dokter Giberline”.
Serumah dengan
Giberline sangat menyenangkan. Dia orangnya humoris penyayang, apalagi terhadap
anak-anak. Tapi aku masih tidak bisa bersamanya. Padahal sudah banyak aku
mendengar ceramah menjadi istri yang baik dan benar. Tetap saja aku bersikukuh
pada pendirianku. Saat malam itu, Giberline tetidur masih menggunakan pakaian
kerjanya. Masih menggunakan sepatu lengkap. Aku terbangun tidak tega melihatnya
begitu kelelahan. Aku coba membalikkan badannya yang telungkup. Aku copot
sepatunya. Kaos kakinya, aku ganti pakaiannya. Aku lap badan dan kakinya agar
tetap segar. Kasihan juga, walaubagaimana pun dia tetap suamiku yang belum
kucintai. Kata Ammaku suami itu bagaikan dewa. Jadi akan ku perlakukan sebagai
mana raja di istananya. Kemudian, aku pandang lekat-lekat wajahnya yang tampan.
Aku raba hidungnya yang mancung. Bibirnya yang tipis. Matanya yang cekung.
Alisnya yang tebal. Dia memang tampan seperti orang timur tengah. Apa gara-gara
tante Farida keturunan Arab ya?. aku kembali mengulur selimutku dan tertidur di
sebelahnya.
Pagi ini aku
dibangunkan oleh Giberline.
“bangun dok, ayo solat subuh”
“iya, dok. Dok aku maunya digendong”
“eh, manja ya. ya udah aku gendong
deh.”
Dengan senang hati Geib menggendongku
untuk mengambil wudhu. Dia imamku. Aku berdoa untuk hidupnya juga. Aku sangat
menyanjungnya. Cinta itu tidak butuh waktu yang lama ketika kita sudah terbiasa
bersama cinta itu akan muncul dengan sendirinya. Kami buktinya. Kami akhiri
dengan salam.
“dokter Winna, istriku yang paling
baik, boleh aku panggil dokter dengan kata sayang?”
“kok, dokter ngomongnya gitu?”
“boleh nggak,?”
“ya, kita akhiri panggilan itu.
Okey”
“deal,”
“deal”.
Geib menggenggam tanganku lama
sekali dan diciumnya dengan manis. Aku tersenyum bahagia. Aku sekarang mulai
mencintai imamku ini.
“aku panggil dokter Geib. Mas aja
ya?”
“iya, sayang”
“mas, mau makan apa?”
“masakin aku nasi goreng mentari
tersenyum ya sayang”.
“oke, siap tuan”
Aku beranjak ke dapur dan mulai
memasak untuk Geib. Aku sayang Geib. Bik Siti kaget melihat aku bangun
pagi-pagi memasak di dapur. Karena biasanya aku terbangun hanya untuk solat
subuh saja.
“non, mau masak apa?”
“mau masak nasi goreng, bibi sayang”
“wah tumben?”
Aku memanyunkan bibirku. Bik Siti
yang sedari dulu hidup bersamaku mulai terkekeh. Melihat tingkahku yang masih
sama seperti anak kecil.
“ya, udah sok atuh non, bibi mau
kepasar heula”
Aku memasak sendiri. Tiba-tiba Geib
memanggilku dari lantai atas.
“sayang,!”
“iya, mas?”
“pakaianku mana, aku mau pakek yang
mana nih, kamu kesini bentar aja. Jangan lupa matikan kompornya”
“iya, mas bentar aku cuci tangan
dulu.”
Aku buru-buru datang ke kamar. Aku
pakaikan dasi pada suamiku, memasangkan jas, mengelapi kaca matanya. Hari ini
Geib begitu tampan. Aku suka dengan hal ini.
“mas, kalau sudah turun ya, udah aku
siapkan makanannya.”
“iya, sayang”
Kami makan bersama. Hari ini aku
ijin bekerja aku ingin chek up kesehatanku. Aku mengantarkan Geib kekantornya.
Hari ini dia nggak ada jam di rumah sakit. Ia pergi rapat di pertamina.
“sayang aku berangkat dulu ya,
hati-hati nyupirnya”
“iya mas,”
“eh bentar, masa langsung mau
pulang, cium dulu dong”.
“malu ah lihat tuh banyak orang,
ntar dirumah aja. Cepet aku tunggu kamu di rumah”
“yah, udah deh. Janji ya ntar di
rumah lo. Eh iya maaf ya sayang aku nggak bisa antar kamu chek up.”
“it’s okey. No problem, good luck
mas, aku pulang dulu. asalamualaikum”
“iya, walaikum salam hati-hati
sayang.”
Hasil
kesehatannya sudah keluar, aku baik-baik saja. Pusing yang selama ini aku alami
hanya kecapaian saja. Dokter merekomendasikan aku agar tidak terlalu capek.
Semuanya baik-baik saja. Hanya beberapa jam saja aku dirumah sakit. Aku
lanngsung menuju kerumah. Makanan yang aku masak aku hidangkan untuk suami yang
sebentar lagi tiba dari kantornya. Aku siapkan juga minuman kesukaannya.
Semuanya sudah terlihat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar