Senin, 17 April 2017

Endless Love



Endless Love
Oleh Puji Lestari Aji

            Berkendara dengan motor matic kesayanganku mengitari penghuni real estate. Mengantarkanku pada ujung kenaasan.
            “ wah, enak ya, jalan-jalan sore. Ternyata perumahan ini lebar dan indah ”.
            Ketika asyik bergeremutu, motorku di tabrak oleh mobil mewah Sport milik penghuni real estate. Aku tidak tersadarkan diri. Ketika siuman aku terlentang di rumah sakit. Kakiku terasa mati. Ternyata batangan motor itu menimpa  kakiku. Tiada luka yang serius dari kecelakaan itu. Namu, menuntutku duduk dikursi roda untuk beberapa minggu. Sebagai anak yang anti dengan rumah sakit,aku memutuskan untuk rawat jalan di rumah. Setiap hari sendiri tanpa canda, membuat bad mood.

            Pagi ini sang surya terlihat enggan menunjukkan sinarnya. Aku duduk di kursi roda di atas balkon. Mata memandang tanpa arah. Air mata menetes tanpa bicara. Harinya indah tapi pembawaanku tak bahagia. Sesekali aku pejamkan mata ketika angin menampar wajah dan rambutku berkelebat.
            “ Winna!”.
            Suara itu mengejutkan aku. Dengan gugup aku sedikit mengusap rambut panjang lurus menyebar diwajahku. Ternyata papah memanggilku. Tak sempat atau tidak ingin menjawab panggilan papah, aku terdiam lagi. Terdengar suara langkah papah yang menapaki tangga kemudian menyongsong kekamarku.
            “ sayang, papah panggil kok diam saja ”.
            Aku hanya memandang papah setengah hati. Sambil merapikan selimut yang menutupi kakiku. Papah masih sabar menunggu jawaban dariku.
            “ ada teman-teman kamu tuh di bawah. Mereka datang ramai-ramai “.
            “ pah, suruh mereka ke atas saja, aku bosan di dalam rumah “.
            Papah hanya mengangguk dan memutar tubuhnya untuk kembali ke bawah. Beberapa saat teman-teman kelasku menemuiku. Mereka terdengar berderup dan penuh kebimbangan.
            “ Winna”, teriak satu dari mereka. Aku memutar kutsi roda untuk melihat kedatangan mereka. “ hai,” jawabku singkat. Benar saja mereka sangat ramai. Tapi aku membalikkan kursi roda untuk tidak melihat mereka beriringan dengan helaan napas yang panjang.
            “ Winna, kita-kita kangen semua nih, sama elo”, kata Nisa teman sebangkuku.
            Mereka memelukku dari belakang. Mereka memuji kecantikanku. Kangen dengan puisiku yang uptodate di mading. Aku baru terisak.
            “ Nisa, hari minggu besok aku akan pergi ke Beijing, operasi kakiku ini.”
            “ semua pasti mendoakan elo Na, kami sayang elo”.
            Setelah cukup lama berbincang. Mereka pamit untuk pulang. kedatangan mereka membuatku sedikit tenang dan terhibur. Kini aku harus terpuruk lagi dalam kelamnya sepi. “Tuhan tolong aku”.
            Di lain atap, suasana, dan keluarga terlihat sedang sibuk berunding memecahkan masalah.
            “ kenapa Giberline, papi rasa ini adalah masalah yang sangat besar untuk papi”.
            “ pih, aku nggak sengaja nabrak cewek itu, lagian dia nyupirnya sambil ngelamun”, sergahnya dengan singkat dan jutek.
            “ Geib, kamu tahu, gadis itu pasti kehilangan masa depannya. Mami nggak mau kamu, kita lari dari tanggung jawab”.
            “ terus apa yang kita lakukan mih, pih”.
            “ sekarang ayo kita kerumahnya. Nggak ada yang tinggal di rumah. Semuanya ikut.”
            Akhirnya keluarga Pak Nasution mengunjungi rumah gadis yang menjadi tanggung jawabnya. Sesampainya dirumah bernomor 09 itu, membunyikan klakson. Dengan otomatis semuanya telah tersensor oleh alat pelacak di atas gerbang rumah kami. Pak Budi membukakan gerbangnya dengan menyentuh beberapa pasword. Keluarga Nasution, kami sambut dengan baik. Baik mamah dan papah.
            “ terimakasih atas kesempatan yang bapak berikan kepada kami”, pak Nasution membuka pembicaraannya.
            “ sama-sama pak”, sahut ayahku.
            Pada saat itu aku sedang berada di taman bersama bik Siti. Untuk melepaskan kehangatan yang akan terlupakan beberapa bulan selama berada di Beijing.
            “ apa jalan keluar masalah diantara anak kita pak Hendrawan? Saya tidak bisa membiarkan Winna terpuruk akibat anakku sendiri. Saya harus memikirkan masa depannya.”
            “ bagaimana kalau sudah besar nanti, setelah mereka dewasa kita jodohkan saja,” kata ibunya Giberline.
            “ waduh, bapak saya juga tidak mengerti hal ini. biarkan waktu saja yang memberikan jawabannya”.
            “ saya akan membantu bapak untuk pengobatan Winna, itu adalah tanggung jawab kami, walaupun saya menyadari bapak lebih dari mampu melakukannya.”
            “ terimalah bantuan dari saya ya ibu Hendrawan, kami akan membantu doa dan usahanya juga.”
            Mendengar percakapan kedua belah pihak korban dan pelaku. Giberline pergi meninggalkan ruangan mega mendung itu dengan kesal. Sikapnya sedikit tidak sopan. Ia berlari kecil menuju taman. Ternyata ibunya mengejar di belakangnya.
            “ Geib, apa yang kamu lakukan, sikap itu bisa menyinggung keluarga pak Hendrawan, kamu tahu beliau itu orang yang paling baik dan bijak yang pernah mami temui.”
            “ iya mih, aku tahu. Tapi yang bener saja aku mau dijodohkan dengan gadis yang cacat. Apa kata teman-temanku nanti. Mami aku sekolah jauh-jauh sekolah kedokteran di Austria, kembali ke Indonesia menikah dengan orang cacat, mih, pikirkan masa depanku juga.”
            “ kamu keterlaluan Geib, kamu yang menyebabkan dia cacat, kamu harus bertanggung jawab”.
            “ aku tetap nggak mau kalau menikahi gadis itu, masih ada cara lain dari dari menikahinya”.
            Aku yang sedari tadi mendengarkan percakapan anak dan ibunya itu membuat hatiku teriris. Aku membungkam mulutku dengan penuh kemarahan. Aku tidak bisa meredakannya saat ini.
            “ cukup!” mereka menoleh secara serentak dan memberhentikan pembicaraannya.
“jangan caci maki aku seperti itu, aku juga belum tentu mau berdampingan denganmu, memang aku gadis yang cacat dan tidak memiliki masa depan. Karena siapa ini? kamu jangan memaki aku dengan kata-katamu yang kotor itu. Tante, kalau punya anak tolong didik dengan baik, beritahu padanya sopan santun terhadap orang lain yang sedang terkena musibah. Ingat tante aku tidak ingin melihat anak tante lagi, apalagi berdampingan apalah sudiku. Maaf tante aku permisi dulu.”
            Aku kayuh kedua roda yang cukup menopang tubuhku dengan air mata yang tergerai. Hinaan itu membuatku terasa menjadi seorang yang sangat menjijikan di dunia. Dengan penuh keamarahanku aku kembali kerumah. Tanganku lecet tidak terasa saat mengayuh roda kursiku. Sungguh kau anak yang tidak memilki perasaan. Jangan pernah berharap mendapatkan kasih sayang setelah melukai wanita dengan penuh kekejian. Mereka masih berdiri termangu mendengar kata-kataku.
***
Setelah beberapa tahun kemudian.
            “ Dok, sudah siap ruang operasinya. Sudah bisa dimulai dari sekarang”.
            “ terima kasih sus”, jawabku.
           
            Gadis cantik ala indi-jerman, berbadan tinggi dan langsing dengan sentuhan kulit putih langsat, mancung, mata yang besar berbinar, bibir yang tipis dan terbelah, rambut panjang lurus tergerai, dibumbui sedikit lesung pipit di dagunya. Membuat semua orang terpesona. Siapa sangka dulunya ia duduk dikursi roda selama berbulan-bulan.
            Seseorang yang terhina karena cacat sekarang menjadi dokter spesialis organ dalam sekaligus bedah. Beberapa jam kemudian aku keluar dari ruangan operasi. Syukur, operasi berjalan dengan lancar. Sekarang aku akan menandatanagni surat persetujuan. Sebentar lagi aku akan pindah ke dirjen kesehatan kementerian kesehatan RI. Undangan itu sangat aku hargai, saatnya benar-benar mengabdikan diri pada tanahku.
            Aku tidak pernah mengingat apapun yang menimpaku sepuluh tahun yang lalu. Saat aku berusia 16 tahun.  Kejadian itu memotivasi keberhasilanku sekarang. Apapun aku hadapi, karena aku sanggup. Setelah beberapa tahun aku sekolah kedokteran di Beijing, China, aku kembali lagi ke sini. Wajah orang-orang yang dulunya ku kenal sekarang berubah, ada yang semakin tua, tumbuh besar, dan ada juga sih yang masih biasa-biasa saja.
            Gedung perkantoran Negara sangat lebar dan luas. Terdapat papan yang besar mengarah kekanan disebelah gedung keuangan negara.
            “ selamat pagi ibu”.
            “ pagi juga ibu Winna, apa kabar?”
            “ baik ibu, alhamdulillah, saya sangat tersanjung bisa bekerja di kementerian ini.”
            “ iya ibu, tingkatkan lagi prestasinya siapa tahu bisa menggantikan ibu Sri pada waktunya”.
            “ amin, semoga bu. Masih belajar”.
            Seminggu setelah bekerja ada acara pengukuhan sekertaris jenderal kesehatan baru. Sekaligus dengan departemen yang lain. Ketika namaku terpanggil hatiku sangat berdenyut. Rata-rata dari mereka sudah mempunyai pasangan dan anak masing-masing. Pada saat itu, aku didampingi papah. Bukan suami, karena aku belum ingin menikah. Wajah papah sangat berseri saat aku kembali menolehnya. Kebanggaan tersurat dalam kedip matanya. Dia adalah sang inspirator dan motivator hidupku. Aku bisa melewati masa sulit bersama sakitku karena papah. Pah, aku sayang papah. Keberhasilanku adalah balasan yang sangat tak berarti bagi kasihnya padaku.
            Dimulai dari hari itu aku terus bekerja dengan keras. Hingga ada sesuatu hal yang mengusik hatiku. Mungkin sekrang aku telah bertambah dewasa. Ada seorang laki-laki yang sepertinya memperhatikan setiap gerak gerikku. Sepertinya laki-laki itu sangat familiar di mata orang. Aku penasaran siapakah dia?. Aku sempat menanyakan pada teman kantorku.          Mereka mengenalnya seorang dokter ahli gizi yang baik hati. Itu saja yang aku tanyakan. Dari dulu aku memang tidak terlalu kepo terhadap sesuatu. Dilain kesempatan aku juga pernah bertatap muka namun tidak mengobrol selayaknya. Aku pandangi pasat matanya. Sepertinya dia tidak asing lagi bagiku. Aku tambah penasaran.
            “ibu Sri, maaf mengganggu”.
            “iya, ada apa bu Winna?”
            “dokter yang di sebelah sana itu siapa ya bu?”
            “kenapa buk  Winna, dia dokter Giberline Nasution, ahli gizi dan dokter anak.”
            “siapa buk namanya”
            “Giberline Nasution”
            Betapa terkejutnya aku ketika mendengarkan kata-kata yang diucapkan oleh buk Sri barusan. Beliau memang atasanku namun aku sangat dekat. Sering diwaktu senggang aku menginap di rumahnya.
            Aku mulai memutar memoriku yang beberapa tahun lalu. Bukankah dia yang menyebabkan aku cacat dan menghinaku gara-gara orang tuanya akan menjodohkan dia denganku. Lihat saja, suatu saat pasti aku akan membalas semua yang dia lakukan padaku waktu itu.
***
            Hari ini cuaca Jakarta sangat dingin, sepertinya akan turun hujan. Aku masih sibuk dengan pekerjaanku yang sedikit menumpuk. Menyusun laporan untuk rapat lusa. Pintu ruanganku berdering.
            “silahkan masuk,” jawabku pada ketukan itu, sambil masih menyentang perlengkapan labor yang akan dikirim ke rumah saakit.
            “asalamualaikum”.
            “walaikum salam, silahkan duduk sebentar saya masih sedikit sibuk, saya sangat minta maaf.” Untuk beberapa detik aku belum menatap wajahnya. Ketika dia mulai berbicara aku sedikit penasaran siapa laki-laki itu.
            “iya, dok. Silahkan saya tunggu.”
            Hatiku tersentak keras, saat memandang laki-laki yang dari tadi memperhatikanku dan pekerjaanku ini. aku bingung apa yang harus aku lakukan. Aku memilih duduk dan sedikit bertanya ada apa dia ke ruanganku.
            “maaf dok, ada apa?”
            “sebelumnya saya minta maaf dulu pada dokter Winna, mengganggu pekerjaannya.”
            “it’s okey. Silahkan. Maaf dok, dari mana dokter tahu nama saya, dan siapa nama dokter?” aku sedikit kebingungan.
            “saya Giberline Nasution, ahli gizi dan dokter anak.”
            Saat ini aku tidaak bisa menahan apa yang ada di daalam haatiku. “sepertinya tidak asing lagi nama itu di telinga saya, anda yang dulu nabrak saya kan?, sampai kaki saya patah dan anda juga yang menghina saya, pada saat akan”, omonganku terputus aku malas harus membicarakannya lagi.
            “iya dokter, benar sekali saya datang kemari ingin meminta maaf atas kejadian itu. Sebentar lagi kita akan melaksanakan puasa dibulan Ramadhan”.
            Aku bingung harus jawab apa, hati kecilku berkata tidak. Namun, aku seorang dokter dan seorang muslim. Akhirnya aku mencoba mengikhlaskan untuk saat ini.
            “iya, dokter saya maafkan anda”.
            “terimakasih dokter Winna, saya tahu untuk memaafkan orang yang selalu kita kenang buruk itu sulit dok”.
            “iya, anda betul sekali dokter Giberline. Anda lebih paham perasaan saya,” jawabku tenang.
            Dia tersenyum, aku membalasnya tapi kali ini bukan senyumanku yang manis untuk pasienku tapi senyuman yang begitu terpaksa.
            “kalau dokter Winna berkenan nanti malam saya akan mengajak dokter dinner, agar kita bisa melupakan masa lalu itu, daan kita rajut kembali persahabatan kita.”
            “oh, boleh dokter, nanti malam saya akan temui dokter. Di mana tempatnya?”
            “tidak usah repot bawa kendaraaan sendiri, saya akan jemput dokter nanti.”
            “terimakasih, masih ingat jalan ke rumah saya?”
            “saya ingat selalu dok,”
            Akhirnya dia pamitan dari ruanganku. Aku masih merasa aneh dan kembali dengan pekerjaanku. Aku masih bertanya-tanya kenapa aku menerima ajakannya. Oh my god this is a trouble for me. Nanti malam aku akan pura-pura sakit saja agar dia tidak mengajakku pergi dinner. Keterlaluan sekali jika dia akan membuatku sengsara.
            “Winna, kamu ada janji sama temen?”
            Mama bertanya, aku terkejut. “mama kok tahu sih?”
            “iyalah mama tahu, kamukan anak mama jadi mama tahu semua tentang kamu”
            “mah, yang ngajak aku dinner malam ini anaknya pak Nasution yang dulu mencelaku”
            “wah bagus, berarti kamu udah maafin dia dong”
            “yeh, mama nggak marah gitu sama aku,?”
            “kenapa mama harus marah, kita harus menjadi pemaaf sayang, kalau Winna udah mau di ajak jalan berarti udah maafkan kesalahannya kan?”
            “nggak juga sih mah, aku masih marah sama dia”
            “udah Win, marahnya jangan berkelanjutan nanti malah jadi cinta lo!”
            “what?, mama jangan nyupahin Winna dong, mama kan tau Winna suka sama siapa?”
            “ya mama tau, namanya Ricko sekarang masih di Berlin USA kan?”
            Aku membalas dengan senyum manja pada mama. Aku bersiap-siap. Aku menebalkan bulu mataku, memberikan sedikit warna pada bibirku dan menambahkan sedikit sedo di pipiku. Aku memuji diriku dulu sebelum orang lain yang memujinya. Benar kata orang aku begitu cantik dan menawan. Aku tersenyum di kaca hiasku.
            “it’s perfect. You are beautiful Winna”
            Suara mama memanggil namaku. Dari lantai dasar.
            “Winna, Giberline sudah jemput.”
            “biarkan tante, aku tunggu, om Hendrawan ke mana tante?”
            “masih di Bandung, kenapa kamu kangen?”
            “iya tante, udah berapa bulan ini aku jarang main ke sini?”
            Giberline memang akrab dengan keluargaku apalagi mama dan papa, selama aku masih di Beijing, Giberline anak lelaki mama dan papa. Aku juga tidak mengerti apa yang mereka lakukan. Waktu aku kembali dari Beijing Om Nasution juga menjemputku di airport. Karena itulah aku mau menuruti permintaan Giberline.
            “ma, Winna pergi dulu ya,” aku mencium mamaku.
            “iya, sayang hati-hati, jangan pulang terlalu malam ya Geib.”
            “iya mah, dah”
            “iya tante, asalamualaikum”
            “walaikumsalam, dadah!”
            Aku semobil dengan orang yang menghinaku, aku tidak mau berbicara. Aku hanya diam menatap jalan yang ramai. Aku semakin malu Giberline terus memandangiku. Sesekali tertangkap ketika aku kembali melihatnya.
            “aku nggak konsen dok,”
            “kenapa?”
            “nggak ada”
            “ jangan menabrak orang lagi, cukup aku saja”.
            “ini bukan mobil yang menabrakmu dulu.”
            Aku menjadi bad mod, mengungkit tabrak menabrak dulu. aku cemberut. Sepertinya dia mulai tertawa kecil. Aku mengalihkan pandangan keluar jendela mobil. Hanya butuh beberapa menit saja aku sudah sampai tempat yang dituju. Tempatnya indah sekali, ada yang main orkestra juga. Bagus sekali. Aku tersenyum bahagia.
            “dokter tau dari mana kalau aku senang budaya China?”
            “ya, apa sih yang aku nggak tahu dari dokter”
            “oh, jadi kepo tingkat dewa ya?”
            “dokter cantik sekali malam ini, senyuman itu sama nggak untuk pasien?”
            “sama, ya. sama aja. Senyumanku nggak ada yang berbeda, beginilah untuk semua orang”
            Kami mulai makan, aku dihidangkan makanan yang sangat enak dan lezat, tapi aku tidak memakannya untuk beberapa tahun lalu.
            “dok, aku nggak makan makanan ini semua?”
            “kenapa dok?”
            “aku nggak berani, aku takut”.
            “kenapa, makan aja dok. Makanan di sini udah aku jamin. Nggak ada yang berbahaya”.
            “aku minum aja, dok”
            “makan ya, aku suapin, ayo buka mulutnya, hem?”
            Aku makan dengan hati-hati. Aku telan dengan hati-hati. Aku rasai dengan hati-hati. Baru beberapa suap, aku menolaknya.
            “cukup dok, aku mual, aku permisi kebelakang sebentar”
            Wajah Giberline berubah cemas, dia beranjak mengikutiku dari belakang. Dia menunggu di luar lorong wc.
            “dok, kita pulang saja. Aku nggak enak badan”, aku memegangi kepalaku.
            “iya, iya dok. Masih kuat?”
            Aku mengangguk, aku tidak mau dituntun. Aku berjalan sendiri ke arah mobil dengan cepat. Napasku sesak, aku memegangi dadaku. Aku menangis terisak-isak.
            “dok, dokter, kita ke rumah sakit ya?”
            “aku mau pulang saja”
            “ayo dok penggang tanganku”
            Aku memegang tangannya. Aku remas, karena aku tidak bisa bernapas. Aku menangis, meronta. Giberline menyetir dengan satu tangan. Aku tidak mau diantar kerumah sakit. Giberline berhenti di pinggir jalan, dia mencoba menenangkan aku. Aku melemas, tubuhku diambang alam kesadaranku.
            “dokter, aku mau pulang saja”.
            “iya, dok. Ayo kita pulang”
            Kami menuju rumah dengan kecepatan yang tinggi. Aku sempat tertidur di dalam mobil. Betapa terkejutnya mama melihat aku digendong tak berdaya oleh seorang laki-laki.
            “tante, dimana kamarnya?”
            “anak tante kenapa Geib, kamu apakan dia?”
            “nanti aku jelaskan tante”.
            Aku dibaringkan di ranjang. Barulah Giberline mengelapi keringatnya dan menceritakan kejadian itu pada mama. Mama mulai memahami sebelumnya mama kecewa pada Giberline.
            “tante maafkan Giberline, mohon tante,” dia meminta sambil berlutut dihadapan mama.
            “iya, sayang. Pulanglah sudah malam”. Tante memahami apa yang terjadi.
            “baiklah tante aku pulang, kalau ada apa-apa telpon aku  tante”.
            “iya, sayang”, mama membelai pipinya yang basah.
            “dok, anda mau pulang?”
            “iya, dokter Winna, aku pulang dulu”.
            “untuk kali ini anda akan pergi lagi setelah membuatku sengsara, hem?”
            “ya, aku akan menjaga dokter kalau tante mengijinkan”
            “bolehkan mah?”
            “iya, sayang. Nanti mama ambilkan selimut.”
            Malam ini  aku akan ditemani oleh Giberline, dia akan tidur di kamarku. Dia tidur di sofa panjang. Sebelum aku tidur, dia masih di sampingku memegangi tanganku. Aku merasakan yang aneh selama dia ada disampingku. Setelah aku terlelap dia tidur di sofa. Kasihan. Rasain lo, anak sombong. Sedang enak-enaknya tidur ditengah malam aku membangunkannya.
            “dok, dok. Ambilkan saya air minum”.
            Dia beranjak dari sofa dan mengambilkanku segelas air putih. “ini dok, minumlah”.
Selepas itu dia tidak tidur. Dia menyuruhku untuk tidur duluan. Aku masih memandangi wajahnya, mataku sayup-sayup hendak tertidur. Belaian tangannya membuatku nyaman. Dia tersenyum, tidak ada sedikit ngantuk diwajahnya. Lama kelamaan aku berbalik badan ke arahnya. Aku raba wajahnya. Aku melihat dia memejamkan matanya. Aku terlelap sekarang.
            “pagi sayang,” mama mengejutkan dipagi buta.
            “pagi tante,”
            “Geib, kenapa tidur sambil duduk begitu? apa tidak pegal?”
            “nggak tante, aku belum solat subuh”.
            “solatlah dulu sayang,” mama menghampiriku yang masih terpejam.
            “morning honey, gimana udah mendingan?”
            “iya mah. Aku sudah mendingan,” aku memeluk mama.
            “papamu besok datang sayang, dan bakal ada pesta yang besar. Saudaramu datang semua dari Surabaya dan Medan”.
            “iya mah, tapi pesta apa?”
            Mama mulai sibuk menyiapkan apa yang diperlukan besok. Mereka sepertinya merencanakan dibelakangku. Ah aneh. Ada apa ya? aku biasa-biasa saja. Giberline juga sibuk, katanya besok ada acara yang cukup besar di keluarganya. Tante Farida juga sibuk. Aku seharian ini menelponnya tapi tidak pernah diangkat. Aku hari ini tidak boleh bekerja, tidak lama dari itu papa datang dari Bandung bersama keluargaku. Rumah terasa ramai sekali. Seperti akan ada pesta pernikahan saja. Tapi siapa yang akan menikah di rumah, setahuku anak mama dan papa hanya aku seorang.
            “papa, kok ramai sekali rumah, banyak saudara dari mana-mana?”
            “iya sayang besok ada acara sakral”
            “for whom papa?”
            “for my angel.”
            “who is she?”
            Aku bertanya pada semua keluargaku,tapi mereka tidak mau menjawab pertanyaanku. Malam ini kata mama aku akan mandi kembang. Aku dimandikan bagaikan putri dari khayangan. Aku dibaluri lulur India untuk pernikahan. Alisku dicukur. Keluargaku dari India mulai berdatangan membawakan baju Sari untuk pernikahan. Baju itu sangat cocok untukku. Papa sibuk mengirimkan baju pada seseorang. Aku tidak tahu siapa yang dituju itu? Apakah benar aku akan menikah?
            “subhanallah you are very beatuful. When you wearing this Sari.”
            “thanks Amma,”
            Malam ini juga aku di dandani ala India, dipingit didalam kamar bertabur bunga dan diberi makanan khidir serta ladoo. Aku menurut, apa yang akan dilakukan oleh keluargaku. Terserah mereka. aku tidak bisa tidur malam ini, aku berdoa pada Allah agar selalu diberi perlindungan.
            Sinar surya menerpa wajahku. Angin yang akan memanas membangunkanku. Selamat pagi duniaku. Aku tersadar hari ini aku akan menikah dengan jodohku. Aku tidak tahu. Semoga itu Ricko. Karena beberapa hari ini mama bercerita tentang Ricko. Aku dimandikan kembali oleh Amma (tante) yang dari India. Mereka sangat setuju bila aku akan menikah. Aku dipakaikan baju kebaya berwarna putih besih dengan jilbab yang indah. Aku diarak menuju masjid Istiqlal. Aku belum ditemukan dengan pasanganku. Papa yang terima pernikahannya, gaya itu ditiru dari India. Aku duduk di dalalm ruangan yang telah ditentukan. Setelah ijab qabul. Aku diarak lagi menuju gedung pesta yang sangat megah dan indah. Ada acara temu penganten dan lain-lain. Aku duduk di pelaminan yang megah. Aku terkejut setengah pingsan saat melihat suamiku adalah Giberline Nasution. Kami berfoto bersama. Aku sering menitikkan air mata. Aku takut pernikahanku tidak bahagia bersamanya. Banyak sekali sahabatku yang datang baik dalam kabinet dan sahabatku yang lainnya. Teman papa banyak yang hadir memberikan restu. Pesta itu berlangsung dua hari di rumhku. Pesta ngunduh mantu di rumah Giberline juga dua hari.
            Selama satu minggu aku dibalut baju indah dan berwarna. Pada hari terakhir dari rangkai pestaku. Kami diantarkan kerumah baru kami di Pulo Gadung. Mereka semua pulang ke rumah masing-masing. Mama menangis melepas anak semata wayangnya. Sebenarnya aku tidak pernah memiliki rencana untuk tinggal jauh dari mama.
            “aku sangat terkejut dok, sebelumnya kalau anda yang akan menjadi suami saya”.
            “orang tua kita yang mengatur semuanya, saat aku kembali dari rumahmu malam itu. Aku terkejut mami bilang kalau aku akan menikah. Semua undangan sudah tersebar.”
            “dokter nggak bohongkan sama aku?”
            “nggak dok, untuk apa aku berbohong?”
            Aku meneteskan air mataku. Aku menangis sambil menunduk. Sambil merenungi bagaimana nasib cintaku nanti.
            “dokter aku tidak bisa mencintai seseorang dengan begitu cepat. Maafkan aku jika nanti ada salah tingkah dan kata, dan aku belum sanggup menjadi istri yang sempurna. Tapi jika ini jalannya aku akan mencoba untuk menjadi istri yang baik.”
            “iya, dokter Winna, aku akan menunggunya, karena sekarang dan nanti aku tetap mencintai dokter Winna,”
            “terimakasih dokter Giberline”.
Serumah dengan Giberline sangat menyenangkan. Dia orangnya humoris penyayang, apalagi terhadap anak-anak. Tapi aku masih tidak bisa bersamanya. Padahal sudah banyak aku mendengar ceramah menjadi istri yang baik dan benar. Tetap saja aku bersikukuh pada pendirianku. Saat malam itu, Giberline tetidur masih menggunakan pakaian kerjanya. Masih menggunakan sepatu lengkap. Aku terbangun tidak tega melihatnya begitu kelelahan. Aku coba membalikkan badannya yang telungkup. Aku copot sepatunya. Kaos kakinya, aku ganti pakaiannya. Aku lap badan dan kakinya agar tetap segar. Kasihan juga, walaubagaimana pun dia tetap suamiku yang belum kucintai. Kata Ammaku suami itu bagaikan dewa. Jadi akan ku perlakukan sebagai mana raja di istananya. Kemudian, aku pandang lekat-lekat wajahnya yang tampan. Aku raba hidungnya yang mancung. Bibirnya yang tipis. Matanya yang cekung. Alisnya yang tebal. Dia memang tampan seperti orang timur tengah. Apa gara-gara tante Farida keturunan Arab ya?. aku kembali mengulur selimutku dan tertidur di sebelahnya.
Pagi ini aku dibangunkan oleh Giberline.
            “bangun dok, ayo solat subuh”
            “iya, dok. Dok aku maunya digendong”
            “eh, manja ya. ya udah aku gendong deh.”
            Dengan senang hati Geib menggendongku untuk mengambil wudhu. Dia imamku. Aku berdoa untuk hidupnya juga. Aku sangat menyanjungnya. Cinta itu tidak butuh waktu yang lama ketika kita sudah terbiasa bersama cinta itu akan muncul dengan sendirinya. Kami buktinya. Kami akhiri dengan salam.
            “dokter Winna, istriku yang paling baik, boleh aku panggil dokter dengan kata sayang?”
            “kok, dokter ngomongnya gitu?”
            “boleh nggak,?”
            “ya, kita akhiri panggilan itu. Okey”
            “deal,”
            “deal”.
            Geib menggenggam tanganku lama sekali dan diciumnya dengan manis. Aku tersenyum bahagia. Aku sekarang mulai mencintai imamku ini.
            “aku panggil dokter Geib. Mas aja ya?”
            “iya, sayang”
            “mas, mau makan apa?”
            “masakin aku nasi goreng mentari tersenyum ya sayang”.
            “oke, siap tuan”
            Aku beranjak ke dapur dan mulai memasak untuk Geib. Aku sayang Geib. Bik Siti kaget melihat aku bangun pagi-pagi memasak di dapur. Karena biasanya aku terbangun hanya untuk solat subuh saja.
            “non, mau masak apa?”
            “mau masak nasi goreng, bibi sayang”
            “wah tumben?”
            Aku memanyunkan bibirku. Bik Siti yang sedari dulu hidup bersamaku mulai terkekeh. Melihat tingkahku yang masih sama seperti anak kecil.
            “ya, udah sok atuh non, bibi mau kepasar heula”
            Aku memasak sendiri. Tiba-tiba Geib memanggilku dari lantai atas.
            “sayang,!”
            “iya, mas?”
            “pakaianku mana, aku mau pakek yang mana nih, kamu kesini bentar aja. Jangan lupa matikan kompornya”
            “iya, mas bentar aku cuci tangan dulu.”
            Aku buru-buru datang ke kamar. Aku pakaikan dasi pada suamiku, memasangkan jas, mengelapi kaca matanya. Hari ini Geib begitu tampan. Aku suka dengan hal ini.
            “mas, kalau sudah turun ya, udah aku siapkan makanannya.”
            “iya, sayang”
            Kami makan bersama. Hari ini aku ijin bekerja aku ingin chek up kesehatanku. Aku mengantarkan Geib kekantornya. Hari ini dia nggak ada jam di rumah sakit. Ia pergi rapat di pertamina.
            “sayang aku berangkat dulu ya, hati-hati nyupirnya”
            “iya mas,”
            “eh bentar, masa langsung mau pulang, cium dulu dong”.
            “malu ah lihat tuh banyak orang, ntar dirumah aja. Cepet aku tunggu kamu di rumah”
            “yah, udah deh. Janji ya ntar di rumah lo. Eh iya maaf ya sayang aku nggak bisa antar kamu chek up.”
            “it’s okey. No problem, good luck mas, aku pulang dulu. asalamualaikum”
            “iya, walaikum salam hati-hati sayang.”
Hasil kesehatannya sudah keluar, aku baik-baik saja. Pusing yang selama ini aku alami hanya kecapaian saja. Dokter merekomendasikan aku agar tidak terlalu capek. Semuanya baik-baik saja. Hanya beberapa jam saja aku dirumah sakit. Aku lanngsung menuju kerumah. Makanan yang aku masak aku hidangkan untuk suami yang sebentar lagi tiba dari kantornya. Aku siapkan juga minuman kesukaannya. Semuanya sudah terlihat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar