Kamis, 09 Januari 2014

Air Mata Guru


Air Mata Guru
“Setelah kejadian yang menimpa sekolah, rasanya sudah tidak ada yang di harapkan reputasinya sudah mulai turun”. Begitulah ucap salah seorang guru. Kata-kata yang masih terngiang di telinga hingga kini masih terdengar, sesayat luka yang menghujam lubuk hati. Dengan tangan yang masih licah dan kedua kaki yang masih kukuh, terus berjalan melewati koridor sekolah walaupun langkahnya mulai sempoyongan. Sapaan murid-murid yang membuatnya tetap semangat dalam membimbing dan berbagi ilmu. Di setiap ada luka selalu tertutupi oleh senyum, hingga tak pernah terlihat menangis. Pandangannnya yang tajam, menuju padang keberuntungan, memegang erat tangan-tangan siswa yang masih membutuhkan cintanya. Setiap hari selalu mengisi kekosongan kelas. Kehampaan pun sirna setelah melihat senyumnya yang menawan dan penuh kelembutan.

***
“ selamat pagi pak?.. sapa seorang siswi dengan ramah.
“ pagi juga nak?.. balasnya dengan senyum yang mengkhas.
Wewangian yang semerbak menyegarkan pagi. Kini Ia harus bergulat lagi dengan spidol, papan tulis dan muridnya. Tantangan yang sudah lazim Ia kerjakan, karena harus profesional dengan pekerjaannya. Tidak semua murid menghormati dan mau mendengarkan nasihatnya. Suatu sore ketika lonceng berbunyi, semua siswa berhamburan untuk keluar kelas dan pulang kerumah masing-masing.
“ kenapa bapak belum pulang,? Tanaya seorang siswa.
“ belum nak, bapak belum selesai rekap nilai untuk kakak kelasmu daftar keperguruan tinggi nanti,,? Jawabnya tenang.
Walaupun hanya ditemani sebatang lilin yang berkelip menerangi matanya yang masih segar dan mampu  mebaca dan mengukir angka. Hal ini yang membuat salah seorang murid tadi, tersentuh hinnga menangis sendiri, sembari menyusuri gerbang sekolahnya. 
Hari-hari telah terlalui. Ini adalah hari naas bagi sang guru, karena harus menerima pisau tajam yang menyayat hatinya. Ia pun pulang ke rumah karena tidak bisa menahan emosi dan air matanya. Walaupun beliau adalah seorang laki-laki, menangis karena tidak terima dengan apa yang dikatakan masyarakat sekitar tentang murid dan dirinya. Terlebih lagi, ia hanya mengharapkan gaji dari Allah SWT. Perjalanan dari rumah untuk sampai kesekolah membutuhkan waktu yang sangat banyak, harus melewati bukit yang penuh krikil, dan hanya di temani sepedanya yang bersahaja. Setiap hari Ia selalu merintis jalan ketika para petani belum pergi ke sawah. Semuanya Ia korbankan demi anak didik harapan sisa akhir hidupnya. Suatu ketika sang guru jatuh sakit paru-paru, kini sekolah yang kumuh dan berdebu itu, tak lagi terlihat sesosok laki-laki tua yang kurus. Keasriannya hilang, kegembiraannya raib. Kini hanya ada permusuhan dan keributan di setiap kelas. Ada seorang siswi menangis tersedu-sedu sambil menyebut nama sang guru kesayangannya, yang telah lama tak kunjung datang untuk mendidiknya. Di belanga samping sekolah tempat melepas lelah tapi, hingga kini tempat itu tidak berpenghuni. Disamping itu, di rumah tua, terbaring sesosok tubuh yang kurus menahan sakitnya yang bersahabat. Air matanya tergerai di kedua belah pipinya. Di kepalanya angan-angan akan anak didik yang tidak ada lagi pembimbing. Guruku yang tegar Ia selalu berusaha untuk bangkit dari sakit, meskipun dengan bantuan obat yang tak layak. Setelah beberapa bulan, Ia kembali ke sekolah. Kaharuan, kebahagiaan, campur menjadi saatu hingga terlukiskan sebuah tangis ria. Semua murid berdoa memanjatkan semua terimakasih untuk Tuhan yang telah menghadiahkan sesuatu yang luar biasa. Kini para murid sadar betapa beharganya setiap ucapannya, tak ada lagi yang bermain-main ketika belajar, semua memperhatikan dan menghormati bapak yang mengangkatnya dari jurang kebodohan.
****
    Tak terasa menimba Ilmu di SMA yang berada di sebuah bukit tua yang sepi, karena bimbingan beliau, cinta beliau,semangat beliau dan karena kegigihanku. Aku bisa melanjutkan ke perguruan tinggi, dan mengeyam pendidikan dengan biaya yang seaadanya. Kesuksesan ku Ia menangis gembira, namun rasa terimakasihku belum terucapkan. Terimakasih guruku, aku mencintaimu dan selalu be rada di sampingmu yang hangat dan kesuksesan ini berkat dirimu. Jangan menangis guruku, biarlah aku saja yang menangis.


Setelah kau arungi kerikil
Setelah kau mengalirkan ilmumu
Setelah kau memberikan yang tebaik
Ketika ku sukses nanti
Jangan menagis....
Aku sangat menyayangimu...

Oleh : Puji Lestari Aji
SMA PLUS N 2 BANYIUASIN III

Tidak ada komentar:

Posting Komentar