Air Mata Guru
“Setelah
kejadian yang menimpa sekolah, rasanya sudah tidak ada yang di harapkan
reputasinya sudah mulai turun”. Begitulah ucap salah seorang guru. Kata-kata
yang masih terngiang di telinga hingga kini masih terdengar, sesayat luka yang menghujam
lubuk hati. Dengan tangan yang masih licah dan kedua kaki yang masih kukuh,
terus berjalan melewati koridor sekolah walaupun langkahnya mulai sempoyongan.
Sapaan murid-murid yang membuatnya tetap semangat dalam membimbing dan berbagi
ilmu. Di setiap ada luka selalu tertutupi oleh senyum, hingga tak pernah
terlihat menangis. Pandangannnya yang tajam, menuju padang keberuntungan,
memegang erat tangan-tangan siswa yang masih membutuhkan cintanya. Setiap hari
selalu mengisi kekosongan kelas. Kehampaan pun sirna setelah melihat senyumnya
yang menawan dan penuh kelembutan.
***
“
selamat pagi pak?.. sapa seorang siswi dengan ramah.
“
pagi juga nak?.. balasnya dengan senyum yang mengkhas.
Wewangian
yang semerbak menyegarkan pagi. Kini Ia harus bergulat lagi dengan spidol,
papan tulis dan muridnya. Tantangan yang sudah lazim Ia kerjakan, karena harus
profesional dengan pekerjaannya. Tidak semua murid menghormati dan mau
mendengarkan nasihatnya. Suatu sore ketika lonceng berbunyi, semua siswa
berhamburan untuk keluar kelas dan pulang kerumah masing-masing.
“
kenapa bapak belum pulang,? Tanaya seorang siswa.
“
belum nak, bapak belum selesai rekap nilai untuk kakak kelasmu daftar
keperguruan tinggi nanti,,? Jawabnya tenang.
Walaupun
hanya ditemani sebatang lilin yang berkelip menerangi matanya yang masih segar
dan mampu mebaca dan mengukir angka. Hal
ini yang membuat salah seorang murid tadi, tersentuh hinnga menangis sendiri,
sembari menyusuri gerbang sekolahnya.
Hari-hari
telah terlalui. Ini adalah hari naas bagi sang guru, karena harus menerima
pisau tajam yang menyayat hatinya. Ia pun pulang ke rumah karena tidak bisa
menahan emosi dan air matanya. Walaupun beliau adalah seorang laki-laki,
menangis karena tidak terima dengan apa yang dikatakan masyarakat sekitar
tentang murid dan dirinya. Terlebih lagi, ia hanya mengharapkan gaji dari Allah
SWT. Perjalanan dari rumah untuk sampai kesekolah membutuhkan waktu yang sangat
banyak, harus melewati bukit yang penuh krikil, dan hanya di temani sepedanya
yang bersahaja. Setiap hari Ia selalu merintis jalan ketika para petani belum
pergi ke sawah. Semuanya Ia korbankan demi anak didik harapan sisa akhir
hidupnya. Suatu ketika sang guru jatuh sakit paru-paru, kini sekolah yang kumuh
dan berdebu itu, tak lagi terlihat sesosok laki-laki tua yang kurus.
Keasriannya hilang, kegembiraannya raib. Kini hanya ada permusuhan dan
keributan di setiap kelas. Ada seorang siswi menangis tersedu-sedu sambil
menyebut nama sang guru kesayangannya, yang telah lama tak kunjung datang untuk
mendidiknya. Di belanga samping sekolah tempat melepas lelah tapi, hingga kini
tempat itu tidak berpenghuni. Disamping itu, di rumah tua, terbaring sesosok
tubuh yang kurus menahan sakitnya yang bersahabat. Air matanya tergerai di
kedua belah pipinya. Di kepalanya angan-angan akan anak didik yang tidak ada
lagi pembimbing. Guruku yang tegar Ia selalu berusaha untuk bangkit dari sakit,
meskipun dengan bantuan obat yang tak layak. Setelah beberapa bulan, Ia kembali
ke sekolah. Kaharuan, kebahagiaan, campur menjadi saatu hingga terlukiskan
sebuah tangis ria. Semua murid berdoa memanjatkan semua terimakasih untuk Tuhan
yang telah menghadiahkan sesuatu yang luar biasa. Kini para murid sadar betapa
beharganya setiap ucapannya, tak ada lagi yang bermain-main ketika belajar,
semua memperhatikan dan menghormati bapak yang mengangkatnya dari jurang
kebodohan.
****
Tak
terasa menimba Ilmu di SMA yang berada di sebuah bukit tua yang sepi, karena
bimbingan beliau, cinta beliau,semangat beliau dan karena kegigihanku. Aku bisa
melanjutkan ke perguruan tinggi, dan mengeyam pendidikan dengan biaya yang
seaadanya. Kesuksesan ku Ia menangis gembira, namun rasa terimakasihku belum
terucapkan. Terimakasih guruku, aku mencintaimu dan selalu be rada di sampingmu
yang hangat dan kesuksesan ini berkat dirimu. Jangan menangis guruku, biarlah
aku saja yang menangis.
Setelah
kau arungi kerikil
Setelah
kau mengalirkan ilmumu
Setelah
kau memberikan yang tebaik
Ketika
ku sukses nanti
Jangan
menagis....
Aku
sangat menyayangimu...
Oleh
: Puji Lestari Aji
SMA
PLUS N 2 BANYIUASIN III
Tidak ada komentar:
Posting Komentar