Jakarta Came
Laut
Kota terbesar di Asia Tenggara dan
merupakan ibu kota negara Indonesia, sering di sebut kota metropolitan, masih
banyak lagi panggilan-panggilan lain dari orang untuk menyebutkan kota Jakarta.
Kini masalah di kota metropolitan itu, selalu menarik perhatian semua bangsa
khusunya bangsa Indonesia. Topik yang lagi hangat dari awal Dessember kemarin
adalah banjir, diberitakan air yang menggenang sebagian besar ibu kota negara
itu air kiriman dari Bogor yang merupakan daerah dengan curah hujan tertinggi
kedua setelah Timika Papua. Luapan Kali Ciliwung membuat air mewabah
kemana-mana menggenangi daerah yang lebih rendah hal ini menjadi masalah
tahunan kota Jakarta. Banjir Rob ini membuat jakarta lumpuh disemua bidang.
***
Banjir
yang tak kunjung surut membuat keluargaku terasingkan di bawah tenda yang
sempit namun tetap dikerumuni oleh orang-orang yang sengsara. Tak ada pilihan
lain bagi kami, tempat satu-satunya untuk berteduh sementara hingga Tuhan
berkata lain, dan segera mencabut ujian untuk kami. Disisa bangunan yang tidak
tenggelam di sanalah kami menaruh asa. Meskipun makan apa adanya yang di
berikan pemerintah kota Jakarta, kami masih sanggup untuk tetap bekerja demi
menyambung hidup keluarga yang kini beranggotakan tujuh orang tersebut termasuk
seorang nenek tua yang tak lain adalah orang tuaku. Dalam keseharianku aku
menjadi ojek perahu, bagi orang-orang yang masih bertahan di rumah mereka
masing-masing. Tarif yang aku berikan kepada para pelangganku yaitu lima ribu
rupiah/orang. Setiap tahun ketika Jakarta banjir pekerjaan inilah yang aku
tekuni. Biasanya sat hari aku bisa menghasilkan uang dua puluh lima ribu
rupiah. Apapun pekerjaan harus aku lakoni karena si kecil Ina, harus minum susu
bantu, hal itu disebabkan istriku yang tak bisa memberikan asinya kepada anak
bungsu kami. Setiap hari ke-empat anakkku menghabiskan uang sekitar lima belas
ribu untuk mereka berjajan. Ditenda pengungsian kami terpisah, sehingga kasih
sayangku terhadap anak-anakku tidak pernah memberikan kasih sayang yang penuh
terhadap mereka. Didalam kesusahan kami terpisahkan oleh jarak. Padahal
jaraknya begitu dekat, namun aku hanya
sesekali saja melihat istri, ibu dan anak-anakku. Ibuku yang tua renta terus
terbatuk-batuk dan kondisi kesehatannya menurun, banyak ibu-ibu setenda dengannya
merasa terganggu oleh suara batuk yang
sangat sering terdengar. Namun istriku adalah wanita yang cerdas, dia selalu
memberikan air hangat atau permen jahe untuk meredam batuk ibu mertuanya itu. Disaat
hujan semalaman mengguyur tenda-tenda derita, para penghuni hanya mampu
memanjatkan doa kepada Tuhan, berpasrah dalam keadaan yang sangat menyedihkan.
Sering aku duduk di atas perahu, sambil bergumam, “ kapan, ya! kota Jakarta ini
terbebas dari yang namanya banjir, sudah tahu tiap tahun banjir, kenapa nggak
ada sama sekali upaya untuk menanggulangi masalah tahunan ini. apa mereka tidak
malu dengan kondisi yang sangat mengerikan seperti ini?.”. akhg,,, sudahlah
memang mereka tidak pernah mau memperhatikan rakyat miskin. Akhirnya aku
memutuskan untuk berhenti bergumam. Harapan seluruh warga kota Metropolitan ini
ingin bebas dari bencana, karena bencana dapat mendatangkan mala petaka dan
kemiskinan yang naik drastis. Mungkin karena kecerobohan warga kota Jakarta
yang sangat sempit oleh pemukiman, hal itu tak lepas dari limbah rumah tangga
yang semakin menggunung dan membuangnya secara sembrono di sembarang tempat.
Apakah tanah yang kini aku diami dan menumbuhkan keturunan akan berubah menjadi
hamparan air yang semakin luas, akankah secepat kilat Jakarta tenggelam.
Berikan upaya pada kami wahai orang-orang berkuasa, jangan kau biarkan kami
hidup menderita dan kelaparan. Sudahilah cobaan-Mu wahai Tuhanku yang Besar,
aku ingin hidup tentram bersama dengan keluargaku yang tercinta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar