Minggu, 04 Mei 2014

Save our Earth


Jakarta Came Laut

            Kota terbesar di Asia Tenggara dan merupakan ibu kota negara Indonesia, sering di sebut kota metropolitan, masih banyak lagi panggilan-panggilan lain dari orang untuk menyebutkan kota Jakarta. Kini masalah di kota metropolitan itu, selalu menarik perhatian semua bangsa khusunya bangsa Indonesia. Topik yang lagi hangat dari awal Dessember kemarin adalah banjir, diberitakan air yang menggenang sebagian besar ibu kota negara itu air kiriman dari Bogor yang merupakan daerah dengan curah hujan tertinggi kedua setelah Timika Papua. Luapan Kali Ciliwung membuat air mewabah kemana-mana menggenangi daerah yang lebih rendah hal ini menjadi masalah tahunan kota Jakarta. Banjir Rob ini membuat jakarta lumpuh disemua bidang.

***
  Banjir yang tak kunjung surut membuat keluargaku terasingkan di bawah tenda yang sempit namun tetap dikerumuni oleh orang-orang yang sengsara. Tak ada pilihan lain bagi kami, tempat satu-satunya untuk berteduh sementara hingga Tuhan berkata lain, dan segera mencabut ujian untuk kami. Disisa bangunan yang tidak tenggelam di sanalah kami menaruh asa. Meskipun makan apa adanya yang di berikan pemerintah kota Jakarta, kami masih sanggup untuk tetap bekerja demi menyambung hidup keluarga yang kini beranggotakan tujuh orang tersebut termasuk seorang nenek tua yang tak lain adalah orang tuaku. Dalam keseharianku aku menjadi ojek perahu, bagi orang-orang yang masih bertahan di rumah mereka masing-masing. Tarif yang aku berikan kepada para pelangganku yaitu lima ribu rupiah/orang. Setiap tahun ketika Jakarta banjir pekerjaan inilah yang aku tekuni. Biasanya sat hari aku bisa menghasilkan uang dua puluh lima ribu rupiah. Apapun pekerjaan harus aku lakoni karena si kecil Ina, harus minum susu bantu, hal itu disebabkan istriku yang tak bisa memberikan asinya kepada anak bungsu kami. Setiap hari ke-empat anakkku menghabiskan uang sekitar lima belas ribu untuk mereka berjajan. Ditenda pengungsian kami terpisah, sehingga kasih sayangku terhadap anak-anakku tidak pernah memberikan kasih sayang yang penuh terhadap mereka. Didalam kesusahan kami terpisahkan oleh jarak. Padahal jaraknya  begitu dekat, namun aku hanya sesekali saja melihat istri, ibu dan anak-anakku. Ibuku yang tua renta terus terbatuk-batuk dan kondisi kesehatannya menurun, banyak ibu-ibu setenda dengannya merasa terganggu oleh suara batuk  yang sangat sering terdengar. Namun istriku adalah wanita yang cerdas, dia selalu memberikan air hangat atau permen jahe untuk meredam batuk ibu mertuanya itu. Disaat hujan semalaman mengguyur tenda-tenda derita, para penghuni hanya mampu memanjatkan doa kepada Tuhan, berpasrah dalam keadaan yang sangat menyedihkan. Sering aku duduk di atas perahu, sambil bergumam, “ kapan, ya! kota Jakarta ini terbebas dari yang namanya banjir, sudah tahu tiap tahun banjir, kenapa nggak ada sama sekali upaya untuk menanggulangi masalah tahunan ini. apa mereka tidak malu dengan kondisi yang sangat mengerikan seperti ini?.”. akhg,,, sudahlah memang mereka tidak pernah mau memperhatikan rakyat miskin. Akhirnya aku memutuskan untuk berhenti bergumam. Harapan seluruh warga kota Metropolitan ini ingin bebas dari bencana, karena bencana dapat mendatangkan mala petaka dan kemiskinan yang naik drastis. Mungkin karena kecerobohan warga kota Jakarta yang sangat sempit oleh pemukiman, hal itu tak lepas dari limbah rumah tangga yang semakin menggunung dan membuangnya secara sembrono di sembarang tempat. Apakah tanah yang kini aku diami dan menumbuhkan keturunan akan berubah menjadi hamparan air yang semakin luas, akankah secepat kilat Jakarta tenggelam. Berikan upaya pada kami wahai orang-orang berkuasa, jangan kau biarkan kami hidup menderita dan kelaparan. Sudahilah cobaan-Mu wahai Tuhanku yang Besar, aku ingin hidup tentram bersama dengan keluargaku yang tercinta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar