Senin, 17 April 2017

Endless Love



Endless Love
Oleh Puji Lestari Aji

            Berkendara dengan motor matic kesayanganku mengitari penghuni real estate. Mengantarkanku pada ujung kenaasan.
            “ wah, enak ya, jalan-jalan sore. Ternyata perumahan ini lebar dan indah ”.
            Ketika asyik bergeremutu, motorku di tabrak oleh mobil mewah Sport milik penghuni real estate. Aku tidak tersadarkan diri. Ketika siuman aku terlentang di rumah sakit. Kakiku terasa mati. Ternyata batangan motor itu menimpa  kakiku. Tiada luka yang serius dari kecelakaan itu. Namu, menuntutku duduk dikursi roda untuk beberapa minggu. Sebagai anak yang anti dengan rumah sakit,aku memutuskan untuk rawat jalan di rumah. Setiap hari sendiri tanpa canda, membuat bad mood.

Penantian Senja di Lubuk Laut



Penantian Senja di Lubuk Laut
oleh Puji Lestari Aji

            Saat aku kerdipkan mataku dengan tenang. Aku melihat sesosok bayangan berdiri di atas panggung. Siapakah gerangan? Hatiku bertanya berdayu. Mengusap mata saja cukup bagiku untuk memperjelas pandanganku. Seperti halusinasi namun demikian adanya. Ternyata Bukan siapa-siapa. Dia Sam, sahabat lamaku. Tetapi kenapa dia pagi-pagi Buta sudah ada di rumahku? Aku tak menanyakan hal itu. Segera mengambil air wudhu dan solat bersama bapak dan Ibuku diapun ikut serta. Selesai salam aku bertanya.
            “Hai Sam, angin apa yang membawamu kemari di hari yang masih gelap?”
            “Aku berjanji Bukan? untuk mengajakmu melihat sinar fajar.”

Berlian Indonesia Tengah



Berlian Indonesia Tengah
oleh Puji Lestari Aji

Matahari menyisih ke sebelah barat. Mata masih terbelalak menatap cakrawala senja yang indah. Semburat jingga membentang sepanjang mata memandang. udara dingin berkelebat bak sesosok bayangan yang datang dan pergi. Tangan ini tetap betah bersidekap.  Berdiri di balkon istana tua yang tetap gagah. Ketegaran jiwa ini semakin kuat. Mematung penuh rasa, padahal  khayalan entah berkelana ke mana.
            Diiringi lonceng waktu yang terus berdenting keras. Aku melirik pada benda yang tertempel di sudut ruangan, jarumnya menunjukkan pukul 15.00 WIB. Dalam hatiku berkata sedemikian rupa. Diam wahai bayu, tak usah kau jawab dentingan lonceng itu, tetaplah bergeming. Luruhkan semua rasa gundah dalam hatiku.
            Usiaku masih dini, bukan waktunya untuk bersedih. Aku harus menikmati masa-masa berkarya dalam sejarah hidupku. Kau tidak bisa menghalangi niatku untuk mengabdi pada nusa dan bangsa. Hatiku bukan terbuat dari kapas, yang rapuh dan bisa “Kau” remukan setiap saat.
            Maafkan aku eyang, untuk saat ini aku menentang kehendakmu. Aku masih menjadi seorang mahasiswa. Universitasku terbaik di Indonesia. Aku ingin masa muda ini bermanfaat untuk orang lain. Aku ingin bersedekah tenaga, ilmu, dan kelebihan lainnya pada orang yang kurang mampu di sudut sana. Aku ingin menjadi seorang pelopor kemerdekaan bagi seluruh gadis yang dijodohkan sebelum waktunya. Ini bukan zamannya Siti Nurbaya, yang rela menikah dengan seorang datuk yang tidak dicintainya. Cintanyapun karam di tengah perjalanan.